Minggu, 10 Juli 2011

Term of Reference Ceramah Insadha



TEMA:
“Saatnya Pemuda Bergerak sebagai agen Pembaharu”
Sesi Analisa Sosial
Dalam pengertian yang sangat sederhana Analisa Sosial atau biasa disingkat Ansos adalah metode populer yang efektif untuk membantu kita menemukan akar penyebab dari proses sosial yang sedang berlangsung serta mencoba mengenali diri kita sendiri dalam mekanisme tersebut. Maka seringkali Ansos biasa di fasekan melalui beberapa tahap[1] yaitu : Pertama, Identifikasi permasalahan atau mulai melihat sekian permasalahan yang sedang menggejala di tingkatan masyarakat; Kedua, menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi sekian permasalahan tersebut berdasar atas struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang ada; Ketiga, melakukan analisa atas unsur-unsur yang mempengaruhi bersandar atas cara pandang (Ideologi) yang lahir atas pengetahuan yang berkembang di masyarakat, sejarah dan realitas yang masyarakat hari ini; Keempat, Positioning Diri, dalam hal ini, individu mampu “sadar” atas realitas yang terjadi dan mampu menempatkan diri sebagai manusia yang dibekali akal-budi dalam realitas sosial tersebut; Kelima, refleksi iman, yaitu bagaiman iman dari keyakinan kita masing-masing sebagai manusia dalam memandang positioning diri kita dalam masyarakat Indonesia.
Pembicara diharapkan mampu mengajak mahasiswa baru untuk menganalisa bersama-sama tentang realitas sosial yang sedang berkembang. Baik lewat pendekatan kesejarahan atau alat baca yang lain. Memaparkan hingga menarik benang merah dari sesi diskusi Ansos ini. Serta tidak lupa mengajak untuk berefleksi bersama sebagai motivasi awal seorang pemuda untuk segera bergerak dalam sekian disiplin ilmu dan skillnya untuk menuntaskan sekian problem yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Diskusi bisa dimulai dari berbagai perspektif untuk misalnya mempermudah pembacaan. Misalnya dari pendidikan, budaya, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Untuk diingat peserta  adalah mahasiswa baru maka pembicara juga diharap menyesuaikan dengan keadaan psikologis sampai pemahaman wacananya.
Dalam diskusi nanti diharapkan memakai alat baca lokalitas, nasionalitas, globalitas. Lokalitas dimaknai sebagai segala hal yang terlihat disekitar atau lingkungan sosial baik dalam pengertian ruang kesadaran masyarakat hingga munculnya sekian permasalahan yang ada. Nasionalitas dipahami sebagai ruang kecenderungan umum masyarakat hingga ruang aktifitas aparatus negara sebagai penyelenggara kehidupan berbangsa dan bernegara baik yang terlihat dalam bentuk kebijakan. Globalitas merupakan segala hal yang mempengaruhi konteks Indonesia sebagai sebuah Nation-State baik berupa ide-ide sampai aktifitas Internasional yang mempengaruhi Indonesia. Artinya lokalitas, nasionalitas sampai globalitas adalah satu kesatuan alat baca yang sampai hari ini mempengaruhi terbentuknya suatu realitas sosial di Indonesia.
Batasan untuk materi kurang lebih seperti yang ada di bawah ini :
Dalam sejarah modern Indonesia ternyata hingga sekarang belum mampu mencapai pembebasan Indonesia sebagai suatu nation-state yang seutuhnya. Dikumandangkanya proklamasi pada 17 Agustus 1945 sebagai momentum politik merengkuh kedaulatan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia (baca : Respublica), ternyata tidak benar-benar terlaksana. Praktis selama sekian puluh tahun merdeka manusia Indonesia belum pernah merasakan luar biasanya kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah.
Jikalau kita lihat sekarang mulai terjadi adanya massifikasi sekian problem yang terjadi di tingkatan masyarakat. Saat ini rakyat sebagai masyarakat sipil semakin terbelit dengan problem kerakyatan, bukan malah keluar dari belenggu ketertindasan seperti yang telah dijanjikan. Mulai dari biaya pendidikan yang semakin mahal, upah buruh yang rendah dan maraknya PHK massal, perampasan tanah atas petani, sampai kasus penggusuran, persoalan TKI yang tak kunjung usai yang diakibatkan lapangan kerja yang tidak memadai dan lain sebagainya.
Di tingkatan negara sendiri sebagai penyelenggara keberlangsungan adanya kehidupan berbangsa dan bernegara justru semakin sibuk untuk berebut kue-kue kekuasaan. Silih bergantinya pemerintahan ternyata tidak melahirkan suatu tatanan masyarakat yang sejahtera, akan tetapi justru malah semakin mengkhianati rakyat yang telah memilihnya lewat proses demokrasi semu yaitu pemilihan umum. Dan akhirnya malah menimbulkan sekian kebijakan-kebijakan yang ternyata secara subtansial masih sama dengan pemerintahan sebelumnya, malahan semakin menambah penderitaan rakyat. Lahirnya sekian undang-undang privatisasi sumber daya alam seperti air, tanah maupun udara. Belum lagi kebijakan tentang pemotongan subsidi sektor publik, seperti BBM, Pendidikan, Kesehatan dan lain sebagainya.
Belajar dari sejarah bangsa ini maka sebenarnya benang merah dari sekian permasalah ini adalah terjadinya ketergantungan negara ini dengan modal internasional. Kolonialisme yang dimulai sejak masuknya bangsa-bangsa barat ke bumi nusantara untuk terus mengeruk keuntungan yang berlimpah dari proses perdagangan ternyata tidaklah membuata mereka puas. Akan tetapi justru semakin memacu untuk terus menguasai negeri ini dengan melakukan proses kolonialisme itu sendiri. Hal ini ternyata berlangsung hingga saat ini dengan model penjajahan gaya baru yakni dengan mengkondisikan Indonesia sebagai sebuah negara mengalami proses ketergantungan secara politik. Artinya negara dalam keadaan tidak benar-benar berdaulat atas kebijakan politiknya. Hal ini betul-betul dimanfaatkan oleh modal atau kapitalisme internasional sebagai ruang dominasi pengambilan kebijakan baik secara politik maupun ekonomi sehingga menyebabkan setiap kebijakan yang ada tidak pernah berpihak kepada rakyat bangsa ini sebagai pemegang kedaulatan bangsa ini. Proses ketergantungan melalui kebijakan jebakan utang luar negri  merupakan alat legitimasi bagi kapitalisme internasional untuk mengobok-obok kondisi politik ekonomi bangsa ini. Jauh dari  itu, utang yang ditawarkan dalam bentuk dana segar selalu saja meminta tumbal berupa perubahan terhadap kebijakan negara (Structural Adjustment Programme) yang antara lain berupa privatisasi BUMN, deregulasi ekonomi dan pembukaan peluang investasi di semua sektor serta pengurangan subsidi pokok yang dimaksudkan untuk mengurangi peran negara dalam menjamin sektor publik guna memuluskan agenda Neo-Liberalisme (globalisasi/pasar bebas).
Situasi di atas menandakan bahwa karakter negara hari ini masih bersifat semi kolonial (baca: setengah terjajah), dimana terjadi lemahnya posisi tawar menawar negara ini di hadapan Kapitalisme Internasional dengan segala perangkat lembaga internasionalnya dari Bank Dunia, WTO, TNC-MNC sampai IMF. Kondisi ini malah diperparah dengan merajalelanya praktek-praktek kapitalisme birokrasi yang kemudian berujung pada pembentukan kekuatan demokrasi yang bersifat oligarki politik, yang hanya mencari keuntungan pribadi atau golongannya di tengah derasnya arus neoliberalisme sehingga menyebabkan sekian peristiwa sosial selalu saja bersumber dari konstelasi politik demi perebutan kue kekuasaan semata.





[1] Ansos Cakrawala Timur 26/06/03 h:4

0 komentar:

Posting Komentar