Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Kamis, 21 Juli 2011

Kau


Kau yang terindah
kau yang terbaik
kau yang agung


kau yang tak pernah kutatap wajahnya
kau yang tak pernah ku jamak
kau yang tak pernah ku sentuh
kau begitu nyata dan tak nyata


kau yang tak pernah ku kenal
terasa dekat

kau bertanya tentang sebuah harapan
ku jawab dengan diam.
bukan ku tolak,tapi itulah jawaban.


bahasa yang kau ucap, sudah ku dahului 
ku berharap permintaanmu bukan lelucon yang kau mainkan.

sampai ketemu di akhir masa pencarian, kalau tuhan berkenan aku pasti menuai permintaanmu..


jazzakallah khairan.


Kaulah Nur yang ku bicarakan. :-)


by ary toteles

Kamis, 14 Juli 2011

Budaya HIP HOP

hip hop.... musik kesukaanku,,,,, hahaha

selain irama nya yang asik, aku juga suka syair syair hip hop yang sangat jujur mengangkat realitas sosial. hip hop bagiku adalah salah satu budaya anak bangsa yang harus dikembangkan. harapanku budaya hip hop bisa jadi fungsi kontrol terhadap pemerintah. dari beberapa lagu hip hop, sangat kelihatan budaya kritis yang berkembang dilingkaran mereka. tidak terkesan hedon, namun cukup realistis dari segi liriknya..

jadi pengen bikin lagu juga nie kayanya,, hahahaha.. ah udah pernah nyoba, tapi susah bangat ngikuti flow lagu lagu repp. mmm... aku harus puas jadi pendengar.. insya allah, kalau dah ane terus belajar supaya bisa, walau jadi amatiran ane sudah sangat puas.. hahahhahaa..

Selasa, 12 Juli 2011

Wanita wanita yang pernah kusakiti

Maaf atas segala khilaf
nafsu mengiris cinta menjadi syahwat
gemgam mesrah ku jadikan renggang
sapa rayumu ku anggap pemicu naluri kebinatanganku

maafkan aku atas kebodohanku
ku bicara atas nama keimanan
ku bertindak dengan sabda syahwat
nafsu menjerumuskan rasio kedalam lubang  kehinaan

Ini bukan alibi,
ini ungkapan hatiku dengan segala kehinaan
entah sampai kapan aku harus menjadi pecundang
moga kalian bisa menerima maaf ku.

dengan segala kearifan ku junjung
segala kehinaanku kalian lebih tau
bunga rampai bujukan syaitani ku kalian sudah rasakan
aku mohon maaf lahir dan batin atas kebinatanganku...

(Ary Toteles, 12 juni 2011)

Minggu, 10 Juli 2011

EKONOMI HITMEN




BERI  TAHU  TEMAN-TEMAN  YANG  MENCINTAI  NKRI

Pengakuan Perusak Ekonomi Negara Berkembang
Dari: Democracy Now

Semoga transkrip wawancara berikut bermanfaat bagi pembelajaran kita yang peduli akan ekonomi Indonesia. Kami mewawancarai John Perkins, mantan anggota terhormat komunitas bankir internasional. Dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man ia menjelaskan bagaimana sebagai seorang profesional yang dibayar mahal, ia membantu Amerika mencurangi dan menipu negara- negara miskin di dunia dengan trilyunan dolar, meminjamkan mereka utang yang melebihi kemampuan mereka untuk membayar, dan kemudian menguasainya. (berikut transrip wawancaranya).

Setyo Budiantoro (Bina Swadaya)
----------------------------------------------------------------------------------


John Perkins menceritakan dirinya sebagai mantan "anggota perusak ekonomi" (Economic Hit Men:EHM) - seorang profesional yang dibayar mahal untuk mencurangi negara-negara di dunia dengan triliunan dolar. (Sebenarnya) 20 tahun yang lalu Perkins telah memulai menulis buku dengan judul, "Conscience of an Economic Hit Men."
Perkins menulis, "Buku ini didedikasikan untuk presiden di dua negara, mereka yang telah menjadi klien dan saya sangat respek pada spirit kebaikannya, yaitu Jaime Roldós (presiden Ekuador) dan Omar Torrijos (presiden Panama). Keduanya terbunuh dalam kecelakaan yang mengerikan. Kematian mereka bukan karena kecelakaan. Mereka dibunuh karena mereka menolak bekerjasama dengan perusahaan, pemerintahan, dan pimpinan perbankan yang mempunyai tujuan menjadi imperium dunia (Amerika). Kami para perusak ekonomi (Economic Hit Men), telah gagal mempengaruhi Roldós dan Torrijos, dan para perusak "jenis yang lain" yaitu CIA-"serigala pengeksekusi" yang selalu di belakang kita, kemudian melakukan tindakan.
John Perkins meneruskan: "Saya dibujuk untuk menghentikan menulis buku itu. Saya telah memulainya empat kali selama dua puluh tahun ini. Pada tiap kejadian besar dunia, hal itu selalu mempengaruhi saya untuk menulis lagi: invasi Amerika ke Panama tahun 1980, Perang Teluk pertama, Somalia, dan kebangkitan Osama bin Laden. Tetapi, ancaman atau sogokan selalu membuat saya berhenti."
Tapi kini, Perkins akhirnya mempublikasikan kejadian yang dialaminya. Buku ini diberi judul "Confessions of an Economic Hit Man". John Perkins bersama kami di studio Firehouse.
John Perkins, dari 1971 hingga 1981 ia bekerja pada perusahaan konsultan internasional `Chas T. Main' dimana ia menjadi "economic hit man." Ia penulis buku yang barusan terbit yaitu Confessions of an Economic Hit Man.


AMY GOODMAN: John Perkins bergabung dengan kami di studio Firehouse.
Selamat datang di Democracy Now!

JOHN PERKINS: Terima kasih Amy. Senang sekali bisa di sini.

AMY GOODMAN: Ini sebuah keberuntungan, membuat Anda bersama kami. Oke, jelaskan makna kata ini, "economic hit man" EHM., seperti halnya Anda menamakannya.

JOHN PERKINS: Pada dasarnya apa yang dilatih kepada kami dan apa pekerjaan kami adalah untuk membangun imperium Amerika. Membawa, merekayasa situasi dimana berbagai sumberdaya (dunia) sebisa mungkin keluar dan menuju negara ini (Amerika), menuju berbagai perusahaan kita, dan menuju pemerintahan kita, dan nyatanya kami telah mengerjakan dengan begitu berhasil. Kami telah membangun imperium terbesar dalam sejarah dunia. Ini dikerjakan lebih dari 50 tahun sejak Perang Dunia II, dengan kekuatan militer yang benar-benar sangat kecil. Hanya suatu kejadian yang amat jarang, yaitu Irak, dimana serbuan kekuatan militer sebagai tindakan paling akhir.
Imperium ini, tidak seperti berbagai sejarah lain dunia, telah dibangun terutama melalui manipulasi ekonomi, melalui pencurangan, melalui penipuan, melalui bujukan sehingga mereka mengikuti jalan kita, melalui para "economic hit men". Saya adalah salah satu bagian utama dari hal itu.

AMY GOODMAN: Bagaimana Anda bisa terlibat? Untuk siapa Anda bekerja?

JOHN PERKINS: Saya direkrut ketika saya kuliah bisnis di akhir 1960- an oleh Badan Keamanan Nasional (National Security Agency, NSA), institusi terbesar Amerika dan jarang dipahami sebagai organisasi mata-mata, tetapi sepenuhnya saya bekerja pada perusahaan swasta. "Economic hit man" yang pertama telah pulang kembali pada awal 1950-an, dimana Kermit Roosevelt (cucu dari Teddy) berhasil menumbangkan pemerintahan Iran. Sebuah pemerintahan yang terpilih secara demokratis, yaitu pemerintahan Mossadegh. Majalah Times pernah menjadikan Mossadegh sebagai sosok terpilih dunia (person of the year). Roosevelt telah melakukan begitu sukses, tanpa ada darah yang tumpah - atau mungkin sedikit- tapi tanpa intervensi militer, hanya mengeluarkan jutaan dolar dan telah bisa mengganti Mossadegh dengan seora ng Shah dari Iran.
Pada situasi itu, kami memahami bahwa tujuan economic hit man sangatlah baik. Kami tidak perlu khawatir ancaman perang dengan Rusia, jika kami berhasil melakukan hal seperti itu. Persoalannya adalah, Roosevelt agen CIA. Ia adalah pejabat pemerintahan. Jika ia tertangkap, ia akan mendatangkan banyak kesulitan. Ini pasti akan sangat memalukan. Lalu, dengan mempertimbangkan ini, keputusan yang diambil kemudian adalah menggunakan organisasi seperti CIA dan NSA untuk merekrut orang-orang potensial menjadi economic hit man, seperti saya. Kemudian, mengirim kami untuk bekerja pada perusahaan konsultan swasta, perusahaan rekayasa (engineering), perusahaan konstruksi, jadi kalau kami tertangkap, maka tak ada hubungannya dengan pemerintah.

AMY GOODMAN: Oke. Jelaskan perusahaan tempat Anda bekerja.

JOHN PERKINS: Perusahaan tempat saya bekerja adalah perusahaan Chas. T. Main di Boston, Massachusetts. Di sana ada 2.000 pekerja, dan saya menjadi pimpinan ekonom. Saya mempunyai staf 50 orang. Tapi pekerjaan saya yang utama adalah pembuat transaksi (deal-making). Yaitu memberikan hutang pada negara lain, hutang raksasa, jauh lebih besar dari kemampuan mereka mengembalikan. Salah satu persyaratan dalam hutang itu ---katakanlah dengan utang sebesar satu miliar dolar, kepada negara seperti Indonesia atau Ecuador--- negara-negara itu akan memberikan kepada kita 90% dari hutang itu, kembali kepada sebuah perusahaaan Amerika, atau beberapa perusahaan Amerika, untuk membangun infrastruktur. Ada beberapa (perusahaan) yang sangat besar (Halliburton atau Bechtel). Perusahaan-perusahaan besar itu kemudian membangun sistem kelistrikan atau pelabuhan atau jalan tol, dan itu semua pada dasarnya hanya melayani (diakses) sebagian kecil penduduk, yaitu para orang-orang kaya di negara-negara itu.

Rakyat miskin di negara-negara itu akan tetap saja terus berkubang, hidup dengan hutang raksasa yang tak mungkin dapat dibayar. Negara seperti Ekuador harus membayar hutang dengan 70% dari budget nasional mereka. Ini benar-benar terlalu berat bagi mereka. Lalu, kita meminta kompensasi minyak. Jadi, ketika kita ingin minyak, kita ke Ekuador dan tinggal menuntut, "Lihat, kamu tidak bisa membayar utangmu, maka berikan perusahaan-perusahaan minyakmu, hutan tropis Amazonmu yang dipenuhi minyak." Dan kini kita telah menguasai dan menghancurkan hutan tropis Amazon, menekan Ekuador untuk memberikannya kepada kita, karena mereka mempunyai hutang raksasa yang terakumulasi. Jadi kita buat hutang raksasa itu, sebagian besar akan kembali ke Amerika, sementara negeri itu (Ekuador) akan mendapat beban utang dengan bunga yang besar, dan menjadi pelayan kita, menjadi budak kita. Ini (Amerika) adalah sebuah imperium. Tak ada yang mengalahkannya. Ini adalah imperium raksasa. Ini benar-benar keberhasilan luar biasa.

AMY GOODMAN: Kita sedang berwawancara dengan John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man. Anda mengatakan karena sogokan dan alasan lain Anda tidak menulis buku ini dalam waktu lama. Apa maksud Anda? Siapa yang menyogok Anda atau siapa--- apakah sogokan itu Anda terima?

JOHN PERKINS: Iya, saya menerima sogokan setengah juta dolar tahun 90-an untuk tidak menulis buku ini.

AMY GOODMAN: Dari?

JOHN PERKINS: Dari sebuah perusahaan besar rekayasa konstruksi.

AMY GOODMAN: Yang mana?

JOHN PERKINS: Bicara secara legal, ini bukanlah.. -- Stone-Webster. Bicara secara legal ini bukanlah sebuah sogokan, ini adalah.. – saya dibayar atas nama sebagai seorang konsultan. Ini semua legal. Tapi sebenarnya saya tak mengerjakan apa-apa. Saya sama sekali tak mengerjakan apa-apa. Ini sangat mudah dimengerti, seperti saya jelaskan dalam Confessions of an Economic Hit Man, itu adalah – saya adalah - itu mudah dimengerti ketika saya menerima uang itu sebagai konsultan mereka, saya tidak melakukan kerja berarti, tapi saya dilarang menulis buku apapun terkait dengan topik itu (pencurangan), ketika mereka mengetahui bahwa saya dalam proses penulisan buku ini, yang pada saat itu saya beri judul "Conscience of an Economic Hit Man." Dan saya harus mengatakan pada kamu Amy, bahwa, kamu tahu, ini adalah kisah yang luar biasa - ini nyaris mirip cerita James Bond, betul-betul, dan maksud saya -

AMY GOODMAN: Tentu, itulah tentunya isi buku itu.

JOHN PERKINS: Iya, dan saat itu,... kamu tahu? Dan ketika saya direkrut NSA, mereka memeriksa saya seharian dengan mesin penguji kebohongan. Mereka menemukan semua kelemahan saya dan kemudian membujuk saya. Mereka menggunakan sarana yang paling kuat dalam kebudayaan kita yaitu sex, kekuasaan, dan uang, untuk mengalahkan saya. Saya berasal dari keluarga Inggris yang sangat tua, Calvinis, tertanam begitu kuat nilai-nilai moral. Saya pikir, kamu tahu, saya adalah orang yang baik sepenuhnya, dan saya pikir kisah tentang saya benar-benar memperlihatkan bagaimana kuatnya sistem itu dan begitu kuatnya pengaruh "candu" sex, uang, dan kekuasaan, sehingga dapat membujuk rayu, karenanya saya begitu terbuai dan terbujuk.
Dan jika saya tidak mengalami sendiri sebagai economic hit man, saya pikir saya akan sangat sulit mempercayai, ada yang melakukan hal itu. Dan inilah mengapa saya menulis buku ini, karena negara kita (Amerika) betul-betul harus dimengerti, jika masyarakat dari bangsa ini memahami bagaimana sebenarnya kebijakan luar negeri kita, apa arti hutang luar negeri sebenarnya, bagaimana perusahaan-perusahaan kita bekerja, kemana uang pajak kita digunakan, saya tahu kita akan menuntut perubahan.

AMY GOODMAN: Kita sedang mewawancarai John Perkins. Pada buku Anda, Anda mengatakan bagaimana Anda membantu menjalankan sebuah rencana rahasia menyalurkan miliaran dolar ke Arab Saudi lalu petro-dolar (Arab) kembali ke ekonomi Amerika, dan kemudian mengikat hubungan antara Pemerintahan Arab dan pemerintahan Amerika berturut-turut.
Jelaskan.

JOHN PERKINS: Ya, ini adalah suatu waktu yang mencengangkan. Saya mengingatnya dengan baik, kamu (Amy) mungkin terlalu muda untuk mengingatnya, tapi saya mengingatnya dengan baik. Di awal 70-an OPEC menggenggam kekuasaan itu, dan memotong suplai minyak. Mobil-mobil kita antre begitu panjang di pompa-pompa bensin. Negara ini (Amerika) takut akan mengalami lagi kejadian seperti tahun 1929 - depresi besar ekonomi- ini sama sekali tidak bisa diterima. Lalu, mereka - Departemen Keuangan (the Treasury Department) menyewa saya dan beberapa economic hit men yang lain. Kami kemudian pergi ke Arab Saudi. Kami ..

AMY GOODMAN: Anda benar-benar yang dinamakan economic hit men = EHM.

JOHN PERKINS: Ya, itu adalah julukan bagi kami. Secara legal, saya adalah pimpinan ekonom. Kami menjuluki kami sendiri EHM. Ini sepertinya tak seorangpun yang bakal mempercayainya jika kami mengungkapkannya, kamu tahu? Dan, lalu, kami pergi ke Arab Saudi di awal 70-an. Kami tahu Arab Saudi adalah kunci untuk melepaskan kita dari ketergantungan, atau mengontrol situasi. Dan kami bekerja menyelesaikannya dimana Kerajaan Arab menyetujui mengirimkan hampir semua petro-dolar mereka (minyak/emas hitam) dan mereka menginvestasikan pada sekuritas-sekuritas pemerintahan Amerika (U.S. government securities). Departeman Keuangan menggunakan bunga dari sekuritas-sekuritas itu untuk menyewa perusahaan-perusahaan Amerika untuk membangun Arab Saudi-kota-kota baru, infrastruktur baru- dan kita mengerjakannya. Dan kerajaan Arab menyetujui untuk menjaga harga minyak dalam batas kemampuan jangkauan kita (Amerika), mereka telah melakukannya bertahun-tahun, dan kami menyetujui menjaga kekuasaan Kerajaan Arab selama mereka melakukan hal yang kita inginkan, kami telah berhasil melakukannya.
Inilah salah satu alasan kita menyerang Irak. Pertama kalinya, di Irak kita mencoba menjalankan straegi yang sama, yang begitu berhasil di Arab Saudi, tapi Saddam Hussein tidak mau tunduk. Ketika skenario economic hit men ini gagal, langkah lain yang dilakukan adalah yang kita namakan "serigala-serigala" (the jackals). "Serigala-serigala" itu adalah CIA, dengan mengirimkan orang-orang "masuk" (Irak) dan mencoba menggerakkan sebuah kudeta atau revolusi. Jika ini tidak berhasil, mereka melakukan operasi pembunuhan atau mencobanya.
Pada kasus Irak, mereka tak mampu menjangkau Saddam Hussein. Ia mempunyai---- pasukan penjaganya (bodyguards) terlalu tangguh, berlapis-lapis. Mereka (CIA) tak dapat menjangkaunya. Lalu mereka melakukan langkah ketiga "pertahanan", jika economic hit men dan the jackals gagal, langkah lain "pertahanan" itu adalah orang-orang kita dikirimkan untuk terbunuh dan membunuh, inilah yang nyata-nyata telah kita kerjakan di Irak.

AMY GOODMAN: Terangkan bagaimana Torrijos terbunuh?

JOHN PERKINS: Omar Torrijos adalah Presiden Panama. Omar Torrijos telah menandatangani Perjanjian Kanal (the Canal Treaty) dengan Carter -- dan, kamu tahu, ini hanya melalui persetujuan satu orang anggota Senat/Kongres. Ini adalah isu tingkat tinggi. Dan Torrijos kemudian juga pergi dan bernegosiasi dengan Jepang untuk membangun sebuah kanal-laut di Panama. Jepang berkeinginan membiayai dan membangun kanal-laut di Panama itu.
Perundingan Torrijos ini membuat sangat marah Perusahaan Bechtel, waktu itu direkturnya adalah George Schultz dan senior council adalah Casper Weinberger. Ketika Carter terdepak (dan terdapat cerita yang menarik-apa sebenarnya yang terjadi), ketika ia kalah dalam pemilihan, dan Reagan terpilih, lalu Schultz menjadi menteri luar negeri dari Bechtel, serta Weinberger dari Bechtel juga menjadi menteri pertahanan, mereka benar-benar marah pada Torrijos – mencoba menegosiasi kembali Perjanjian Kanal dan untuk tidak berhubungan dengan Jepang. Ia (Torrijos) tetap tak bergeming, menolak.
Ia adalah sosok yang punya prinsip. Ia memang punya persoalan dalam dirinya, tapi ia adalah seorang yang punya prinsip. Ia adalah orang yang mengagumkan, si Torrijos itu. Dan kemudian, ia terbunuh dalam kecelakaan pesawat yang mengerikan, dimana ini berhubungan dengan tape recorder yang meledak bersamanya, dimana ---- Saya ada di sana (Panama). Saya sedang bekerja sama dengan dia. Saya tahu, kami (economic hit men) telah gagal. Saya tahu para "serigala-serigala" (the jackals) sedang mendekati dia, dan kemudian, pesawatnya meledak dengan sebuah tape recorder dengan bom didalamnya. Saya tak meragukan sama sekali bahwa ini adalah "sanksi" dari CIA, dan sebagian besar - para investigator Amerika Latin mempunyai kesimpulan yang sama. Tentu saja, kita tak pernah tahu tentang hal ini di negara ki ta (Amerika).

AMY GOODMAN: Lalu, dimana - kapan Anda mengubah pandangan Anda?

JOHN PERKINS: Saya merasa sangat bersalah sepanjang waktu, tapi saya dibujuk rayu. Kekuatan obat-obatan, sex, kekuasaan, dan uang, sungguh terlalu sangat kuat bagi saya. Dan, tentu saja, saya melakukannya sebagai seorang yang tepat. Saya adalah pimpinan ekonom. Saya melakukan sesuatu yang Robert McNamara (Presiden Bank Dunia) inginkan dan begitu juga kelanjutannya.

AMY GOODMAN: Bagaimana dekat Anda dengan Bank Dunia?

JOHN PERKINS: Sangat, sangat dekat dengan Bank Dunia. Bank Dunia menyediakan hampir semua biaya yang digunakan economic hit men, ia (Bank Dunia) dan IMF. Tapi ketika terjadi 11 September (WTC ditabrak pesawat), saya berubah pandangan.
Saya tahu cerita kejadian ini harus diungkapkan karena apa yang terjadi pada 11 September adalah akibat langsung dari apa yang economic hit men lakukan. Dan hanya dengan jalan bahwa kita merasa aman pada negara ini kembali, dengan adanya rasa kebaikan tentang kita, dimana kita menggunakan sistem kita untuk melakukan perubahan positif di berbagai belahan dunia. Dan saya percaya kita dapat melakukannya. Saya percaya bahwa Bank Dunia dan institusi lain dapat diubah dan melakukan apa yang sebenarnya harus dilakukan, yaitu merekonstruksi bagian-bagian yang luluh-lantak di dunia. Menolong, sungguh-sungguh menolong orang-orang miskin. Ada 24 ribu manusia mati kelaparan tiap hari di dunia. Kita dapat merubah itu.

AMY GOODMAN: John Perkins, saya mengucapkan terima kasih sekali Anda telah bersama kami. John Perkins seorang yang telah menulis Confessions of an Economic Hit Man.

===================================================================

[1] Diterjemahkan secara bebas oleh Setyo Budiantoro (Bina Swadaya - Jakarta), dari wawancara John Perkins dengan kantor berita Democracy Now (Amerika).



SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA



MASYARAKAT FEODAL INDONESIA

Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah.Dalam tahapan masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya.

Pada  perkembangan masyarakat feodal di Eropa, dimana tanah dikuasai oleh baron-baron (tuan2 tanah) dan tersentral. Para feodal atau Baron (pemilik tanah dan kalangan kerabat kerajaan) yang memiliki tanah yang luas mempekerjakan orang yang tidak bertanah dengan jalan diberi hak mengambil dari hasil pengolahan tanah yang merupakan sisa upeti yang harus dibayar kepada para baron. Tanah dan hasilnya dikelola dengan alat-alat pertanian yang kadang disewakan oleh para baron (seperti bajak dan kincir angin). Pengelolaan tersebut diarahkan untuk kepentingan menghasilkan produk pertanian yang akan dijual ke tempat-tempat lain oleh pedagang-pedagang yang dipekerjakan oleh para baron. Di atas tanah kekuasaannya, para baron adalah satu-satunya orang yang berhak mengadakan pengadilan, memutuskan perkawinan, memiliki senjata dan tentara, dan hak-hak lainnya yang sekarang merupakan fungsi negara. Para baron sebenarnya otonom terhadap raja, dan seringkali mereka berkonspirasi menggulingkan raja.
Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil contoh pada masa kerajaan-kerajaan kuno macam Mataram kuno, kediri, singasari, majapahit. Dimana tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan Raja dimaknai sebagai titisan dari dewa yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut dan mempunyai wewenang untuk membagi-bagikan berupa petak-petak kepada sikep-sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep-sikep), bujang-bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di beberapa tempat) dan ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada orang yang berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk pajak maupun upeti. Sedangkan bagi rakyat biasa yang tidak mendapatkan hak seperti orng-orang diatas mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang didapat sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll untuk kemudian disetorkan kepada raja, Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya.
Pada tahap masyarakat feodal di Indonesia, sebenarnya sudah muncul perlawanan dari kalangan rakyat tak bertanah dan petani. Kita bisa melihat adanya pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng Galengsong, pemberontakan Untung Suropati, dan lain-lain. Hanya saja, pemberontakan mereka terkalahkan. Tapi kemunculan gerakan-gerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga-tenaga produktif yang terus berkembang maju (progresif) berhadapan dengan hubungan-hubungan sosial yang dimapankan (konservatif). Walaupun kepemimpinan masih banyak dipegang oleh bangsawan yang merasa terancam karena perebutan aset yang dilakukan oleh rajanya. 
Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke-15, melalui merkantilisme Eropa.
2. Masuknya kapitalisme melalui Kolonialisme dan Imperialisme
Di negara-negara yang menganut paham merkantilisme terjadi perubahan besar terutama setelah Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan semakin memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, dimana mereka mencoba untuk mencari daerah baru yang kemudian diklaim sebagai daerah jajahannya dengan semboyan Gold, Gospel, dan Glory, mereka membenarkan tujuannya dengan alasan penyebaran agama dan dalam bentuk kapitalisme dagang (merkantilisme) dan sejak itu feodalisme di masyarakat pra-Indonesia mempunyai lawan yang sekali tempo bisa diajak bersama memusuhi dan melumpuhkan rakyat. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa.
Kolonialisme dan imperialisame merebak di mana-mana, termasuk di tanah Nusantara, Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin raja muda portugis Vasco da Gama. Tujuannya mencari rempah-rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.
Kolonialisme yang masuk pertama di Indonesia merupakan sisa-sisa kapitalisme perdagangan (merkantilisme). Para kapitalis-merkantilis Belanda masuk pertama kali ke Indonesia melalui pedagang-pedagang rempah-rempah bersenjata, yang kemudian diorganisasikan dalam bentuk persekutuan dagang VOC tahun 1602, demikian juga dengan Portugis, dan Spanyol. Para pedagang bersenjata ini, melakukan perdagangan dengan para feodal, yang seringkali sambil melakukan ancaman, kekerasan dan perang (ingat sejarah pelayaran Hongi).
Kekuasaan kolonial Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah) --pajak ini mengharuskan sistem monetar dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistem moneternya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya rentenir dan ijon.
Di sisi yang lain, kalangan kolonialis-kapitalis juga memanfaatkan kalangan feodal untuk menjaga kekuasaannya. Hubungan antara para kolonialis-kapitalis dengan para feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua belah pihak Kapitalisme yang lahir di Indonesia bukan ditandai dengan dihancurkannya tatanan ekonomi-politik feodalisme, melainkan justru ada usaha revitalisasi dan produksi ulang tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal untuk memperkuat kekuasaan kolonialisme. Karena adanya revolusi industri terjadi kelebihan produksi yang membutuhkan perluasan pasar; membutuhkan sumber bahan mentah dari negeri asalnya; membutuhkan tenaga kerja yang murah -- mulai melakukan kolonialisasi ke negara-negara yang belum maju. terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Hal ini sangat berbeda dengan lahirnya kapitalisme di negara-negara Eropa dan Amerika. Di kedua benua tersebut, kapitalisme lahir sebagai wujud dari dihancurkannya tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal. Contoh kasus yang paling jelas adalah adanya revolusi industri di Inggris yang mendahului terjadinya revolusi borjuasi di Perancis
3. Tumbuhnya Kapitalisme di Indonesia
Pada masa Van den bosch tahun 1830, pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia.  Sistem ini bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1.     Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2.     Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;
3.     Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;
4.     Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;
5.     Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6.     Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;
7.     Pembebanan berbagai macam pajak.
Sistem ini juga merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.
Pada pertengahan abad 19 terjadi perubahan di negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta --seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme-- terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Perubahan  kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang. Maka pada tahun 1870 tanam paksa di hentikan. Namun borjuasi yang masuk ke jajahan (di Indonesia) menghadapi problem secara fundamental yaitu problem tenaga produktif yang sangat lemah. tenaga kerjanya buta huruf, misalnya. Oleh karena itu untuk mengefisienkan bagi akumulasi kapital, pemerintah belanda menerapkan politik etis. Dengan politik etis pemerintah hindia belanda berharap agar tenaga-tenaga kerja bersentuhan dengan ilmu pengetahuan (meski tidak sepenuhnya) tekhnologi untuk menunjang produktivitas dan untuk perluasan lahan bagi kepentingan akumulasi modal. Mulai munculah sekolah-sekolah walaupun diskriminatif dalam penerimaaan siswanya.
Penerapan politik Etis ternyata menjadi bumerang bagi Belanda sendiri. Politik etis menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat-rakyat dengan tersosialisanya ilmu pengetahuan akhirnya mampu memahami kondisinya yang tertindas. Gerakan-gerakan modern untuk melawan penindasan mulai dikenal: mulailah dikenal organisasi terutama setelah partai-partai revolusioner di Belanda berkomitmen (merasa berkewajiban) membebaskan tanah jajahan. Seiring dengan ini mulailah dikenal mengenai sosialisme, kapitalisme, komunisme, dsb. yang selanjutnya sebagaimana yang kita ketahui dengan baik, rakyat mulai membangun perlawanan (berontak).
Dampak yang paling nyata dari adanya kapitalisme perkebunan dan adanya pendidikan, perlawanan rakyat Indonesia -- yang dulunya hanya bersifat lokal, tidak terorganisir secara modern, dan tidak berideologi -- telah berubah secara kualitatif dan kuantitatif. Di mana-mana muncul secara massif dan menasional  perlawanan rakyat yang terorganisasikan secara modern dan memiliki ideologi yang jelas.
Revolusi di Cina dibawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Tahun 1908 berdiri sebuah organisasi Pemuda Boedi Oetomo, yang juga ditandai sebagai hari kebangkitan nasional. Pada bulan Juli 1917 mengubah Organisasinya menjadi sebuah partai politik. Hal yang sama terjadi dengan Sarekat Islam (SI). Dari titik ini kepartaian di Indonesia di bagi dua yaitu yang berkoorperasi--masuk dalam sistem kolonial-- dan yang menolak masuk ke dalam sistem kolonial tersebut. Yang masuk dalam ketegori koorporasi ialah BU dan SI sedangkan kelak yang masuk kedalam kategori non-ko ialah PKI dan PNI.
Di dalam kongres SI di Yogyakarta terjadi perpecahan antara faksi revolusioner dengan ulama-ulama kolot feodal yang menolak SI bergabung dengan organisasi-organisasi dunia yang ada hubungannya dengan organisasi komunis internasional. Perpecahan ini mendorong faksi revolusioner untuk membangun sebuah wadah yaitu Partai Komunis -- partai komunis pertama di Asia--dalam sebuah kongres di Bandung, Maret 1923 yang menggariskan perbedaan secara prinsipil dengan SI yaitu partai komunis mengemban dan mengembangkan suatu kebudayaan revolusioner serta mengumandangkan pengertian dan kebebasan. Partai ini lahir ketika imperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh dan sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa-sisa feodalisme. Sementara organisasi-organisasi lain tidak mampu membaca dan memanifestasikan kesadaran perlawanan rakyat.
PKI terus menjalankan politik radikalnya yang berujung pada pemberontakan pertama besar-besaran di Indonesia yang dipimpin oleh partai politik, pada akhir tahun 1926 sampai januari 1927, dan menolak penjajahan secara sangat serius.     
Serikat buruh yang mula-mula berdiri adalah serikat buruh trem dan kereta api (VSTP) dengan markas di Semarang, berdiri 1918. Juru propaganda pribumi VSTP yang pertama, Semaoen, selain bekerja untuk serikat buruh juga menjadi ketua Sarekat Islam (SI) lokal Semarang.   Gerakan ini mencatat beberapa kesuksesan antara lain di bidang perserikatan buruh yang di mulai pada mei 1923.
Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap segala bentuk perlawanan rakyat. Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya.
Sejarah perjuangan ternyata bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta merta menyurutkan perjuangan. Posisi PKI di ambil alih oleh PNI yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927 dibawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan partai massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme.Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Akhirnya, pada tahun 1929 pimpinan PNI mengambil keputusan untuk membubarkan diri. Tapi aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus menerus. Sementara itu di Eropa, tahun 1939 Perang Dunia II meletus ketika Jerman dibawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang seperti pelabuhan, jalan raya dan lapangan udara tanpa di upah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll. Sebab-sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan diantara negara-negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis
4. REVOLUSI BORJUASI 1945
Pada tanggal 14 dan 16 Agustus 1945, Nagasaki dan Hiroshima di bom atom oleh tentara sekutu yang menyebabakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II, maka terjadi kevakuaman kekuasaan di tanah-tanah jajahan pemerintahan fasis Jepang termasuk Indonesia sementara tentara Sekutu belum datang. Maka pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.
Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional.Tampuk kekuasaan negara repulik Indonesia hanya pindah dari tangan para kolonialis-kapitalis ke tangan sisa-sisa feodalisme yang berhasil mentransformasikan diri menjadi borjuasi nasional (kapitalis local). Kekalahan start kaum radikal oleh borjuasi nasional dalam mengambil kepemimpinan politik untuk membentuk pemerintahan koalisi nasional kerakyatan dikarenakan penetrasi Amerika yang memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Hasil dari revolusi borjuasi secara umum adalah pemindahan kekuasaan dari tangan para kolonialis-kapitalis Hindia-Belanda ke tangan para borjuasi baru sipil dan militer.
Program politik untuk menuntaskan revolusi borjuasi nasional yang belum tuntas dan harus dilanjutkan dengan revolusi sosial menjadi pemikiran  dan dijalankan oleh banyak kekuatan partai politik. Pada era demokrasi multi partai ini, terjalin sebuah kehidupan berbangsa yang demokratis karena keterlibatan partisipasi politik rakyat sangat besar di sini dan banyak-nya partai yang mempunyai orientasi yang pro-rakyat. Dalam masa damai era demokrasi multi partai ini, militer dan para pendukungnya tidak mampu berbuat banyak. Oleh karena itu, mereka sering melakukan sabotase ekonomi (lewat penyelundupan), ancaman kudeta, dan menciptakan pemberontakan separatisme, dengan tujuan untuk mengacaukan masa damai yang lebih menguntungkan kalangan sipil dan mayoritas rakyat. Kita catat misalnya dikepungnya Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952. Dalam usaha kudeta itu militer bekerja sama dengan bandit-bandit ekonomi-politik dalam negeri, beberapa kekuatan politik kanan, dan agen rahasia luar negeri seperti CIA-Amerika dan MI-6-Inggris.
Militer Indonesia yang di kuasai tentara reguler jebolan KNIL dan PETA hasil dari rasionalisasi dan restrukturisasi yang menyingkirkan laskar-laskar rakyat berhasil memperkuat basis ekonomi-nya melalui program banteng pada tahun 1957. Program in merupakan usaha “penciptaan” kelas borjuasi nasional (kapitalis lokal). Program ini juga berisi nasionalisasi besar-besaran aset swasta asing dan ex perusahaan Belanda dengan melibatkan pengusaha pribumi dan jenderal-jenderal militer (TNI).  Program ini juga merupakan tonggak masuknya militer sebagai kapitalis dan munculnya pengusaha-pengusaha dari partai-partai politik.  Sistem ekonomi Orde Lama juga masih berada disekitar jalur industrialisasi. Dalam situasi ini masih terdapat ilusi tentang tentara yang konstitu sional dan pro-rakyat. Salah tafsir ini mengingkari bahwa ABRI, yang cikal-bakalnya rakyat, telah dikooptasi oleh kaum reaksioner, ini membuktikan tentara mempunyai tendensi-tendensi akan kekuasaan politik. Tendensi ini makin nampak jelas ketika dimasukannya ABRI sebagai golongan fungsional, jadi dapat dipilih tanpa pemilu. Ini semua merupakan bentuk kongkrit dari penjabaran konsep Jalan Tengah dari Nasution, bahwa ABRI harus menjadi kekuatan sosial-politik. konsep ini yang kemudian dikembangkan oleh Jendral Suharto menjadi Dwi Fungsi ABRI.
Militer yang ingin berkuasa penuh secara politik dengan konsep jalan tengahnya dan mendapat perlawanan yang keras dari kekuatan buruh dan tani lewat PKI. Puncaknya meletuslah peristiwa 65 yang lebih kita kenal dengan G 30 S/PKI. Dan militer akhirnya mengkudeta Soekarno dan membantai massa dan simpatisan PKI dan Soekarno.

5. Orde Baru dan Kapitalis Bersenjata
Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari scenario lembaga-lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF dan World Bank. Kapitalisme dengan syarat-syarat kekuatan produktif yang rapuh dibidang teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orba harus bergantung sepenuh-penuhnya pada kekuatan modal Internasional Jepang, Amerika, Inggris, Jerman, Taiwan, Hongkong, dll. Pengabdian Orba pada modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya negara Orba dibawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Soeharto adalah ALAT KEPENTINGAN-KEPENTINGAN MODAL.
Pada tahapan awal konsolidasi kekuasaannya,  Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman hutang luar negeri dan penanaman modal asing. Soeharto melahirkan orang kaya baru (OKB) dan tumbuhnya Kapitalis. Soeharto juga memberikan lisensi penuh kepada sekutu dan kerabatnya untuk monopoli Export-import, penguasaan HPH dan perkebunan-perkebunan kepada yayasan-yayasan Angkatan Darat. Sehingga seluruh aset ekonomi kekayaan negara dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Dan Rezim Orba ini juga menggunakan kekuatan militernya untuk merefresif, membungkam dan meredam kekritisan dan protes dari rakyat. Senjatanya yaitu Dwi Fungsi ABRI dengan manifestasinya yaitu kodam, kodim, korem, koramil, babinsa/binmas. Juga badan extra yudisialnya seperti BIA, BAIS,dll.
Pada masa kekuasaan Rezim Orba ada beberapa perlawanan rakyat, tetapi organisasi perlawanannya lemah sehingga dapat dipukul dengan mudah seperti kasus Aceh, Tanjung Priuk, Lampung,dll. Di Gerakan Mahasiswanya sendiri Rezom Orba mengeluarkan kebijakan NKK/BKK yang jelas-jelas sangat meredam kekritisan mahasiswa, dan membuat mahasiswa jadi sulit untuk merespon kondisi masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1997 terjadi krisis yang melanda dunia. Krisis ini diakibatkan oleh over produksi yang menyebabkan pengembalian modal mengalami kesulitan. Dampak dari krisis Global ini sangat berpengaruh sekali pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Ditambah lagi dengan jatuh temponya hutang luar negeri. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia awal dari keruntuhan Rezim Orba.
Runtuhnya Orba yang dimulai dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi tersebut adalah naiknya harga sembako. Sehingga terjadi pergolakan dimana-mana yang menuntut diturunkannya harga sembako. Gerakan Mahasiswa yang selama ini vakum mulai bangkit melawan Rezim otoriter Soeharto. Tuntutan Mahasiswa dan Rakyat yang tadinya mengangkat isu-isu ekonomis meningkat menjadi isu-isu politis.
Pada tahun 1998 Gerakan Mahasiswa dan Rakyat berhasil melengserkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Soeharto digantikan oleh Habibie yang masih anak didiknya. Habibie hanya setahun berkuasa di Indonesia. GusDur naik sebagai Presiden RI dan Mega sebagai wakilnya melalui Pemilu 1999 yang katanya demokratis.

6. Indonesia dalam alam Neo Liberalisme.

Neo liberalisme adalah salah satu bentuk baru kapitalisme. Jurus neolib ini dilahirkan oleh kapitalisme Internasional dikarenakan pada saat itu dunia sedang mengalami krisis global. Persaingan pasar bebas menurut kapitalisme Internasional adalah jawabannya. Sehingga kesepakatan WTO pada November 1999 di Seattle Amerika adalah tahun 2003 sebagai tahun diberlakukannya pasar bebas di Indonesia. Dampak dari pasar bebas di Indonesia ini akan mematikan perekonomian rakyat kecil di Nidonesia. Karena produksi Indonesia belum mampu bersaing dengan produksi luar negeri, karena keterbatasan teknologi.
Rezim Mega-Hamzah yang saat ini memimpin Indonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menolak Neolib ini. Karena pemerintahan GusDur-Mega masih sangat bergantung pada pinjaman hutang luar negeri terutama IMF dan World Bank.
Sementara rakyat Indonesia menuntut kepada Rezim yang baru naik, yang katanya mendapat legitimasi dari rakyat untuk menuntaskan agenda-agenda Reformasi total, yang beberapa pointnya yaitu pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, cabut dwi Fungsi TNI/Polri(ABRI), Pengadilan Soeharto & kroninya serta sita asset-aset kekayaannya untuk subsidi kebutuhan rakyat. Dan sampai saat ini Rezim Mega-Hamzah belum mampu. Bahkan pemerintahan Mega-Hamzah membuat konsesi dengan sisa kekuatan lama (sisa Orba dan militer). Inilah yang membuat terhambatnya proses demikratisasi di Indonesia. Rezim yang diharapkan rakyat banyak juga menggunakan militer sebagai pendukung kekuasaannya. Ini terbukti bahwa Rezim Mega-Hamzah sama saja dengan rezim Orba. Bahkan militer berkali-kali mencoba ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu RUU PKB, dll (terakhir mereka mencoba untuk mengaburkan tuntutan pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri dengan isu TNI/POLRI mempunyai hak untuk memilih dan dipilih lewat Pemilu), dan ini justru didukung oleh Rezim. Ini berarti mereka memberi peluang untuk terjadinya kembali praktek-praktek militerisme di Indonesia.

7. Hal-hal yang harus kita lakukan untuk merubah Indonesia.
Untuk merubah Indoneisa, kembali kepada cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia yang sesungguhnya, yaitu membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kita harus menghancurkan dulu sistem kapitalisme yang sangat menindas tehadap hak-hak kaum pekerja yang menjadi mayoritas dari rakyat Indonesia. Kita harus membangun Organisasi-organisasi perlawanan rakyat untuk menentang segala macam system yang tidak berpihak pada rakyat. Dan kita juga harus mampu mempelopori membentuk system yang berpihak kepada rakyat. Sistem  yang berpihak kepada rakyat yaitu system Demokrasi Kerakyatan. Kita harus merebut demokrasi sejati, untuk itu kita harus mentaskan revolusi demokratik di Indonesia. Kita harus menegakkan demokrasi sepenuhnya di Indonesia. Demokrasi Tanpa Penindasan.


Rosa Luxemburg: Sang Pedang Revolusi




Sumber                 : Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003
Kontributor         : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan,  Januari 2004
Versi Online        : Indomarxist.Net,  3 Februari 2004

 * * *
Banyak sudah tulisan yang memahat nama agung perempuan ini, seorang pemimpin partai revolusioner Jerman (SPD); jurnalis dan penulis tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Rosa Luxemburg, tak hanya di Jerman, namanya abadi pula dalam perjuangan revolusioner di Polandia dan Rusia. Sebarisan karya-karya besarnya menjadi bagian dari penggerak perubahan sejarah. Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia teguh berjuang demi tegaknya sosialisme.
Berakhir tragis. Setahun setelah revolusi Bolsyevik yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim Hitler menamatkan riwayatnya. Tengah malam pada Januari 1919, setelah menjalani perburuan panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, -- kawan-kawannya-- ia ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke penjara mereka disiksa habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam dengan popor senjata, remuk. Belum selesai di situ, kepala perempuan yang sarat pikiran-pikiran radikal ini dihujani berpuluh-puluh peluru.
Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo Jogiches, kawan karib sekaligus kekasihnya,  terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri tertangkap dan dibunuh tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat Luxemburg. Baru pada bulan Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung, tersangkut di tiang pancang jembatan, di sebuah sungai di pinggiran kota Berlin.
Remuk, dan sudah membusuk. Toh, orang masih mengenali Rosa Luxemburg, masih mengenali sebelah kakinya yang cacat. Surat-surat indah, artikel, polemik yang ditulis pada kawan-kawannya, pada Leo Jochiches yang sering dipanggilnya “Julek”,  adalah jejak-jejak berharga yang tertinggal sampai abad ini. Dia dikebumikan pada Juni di Friedrichsfeld berdampingan dengan kekasihnya. Juga bersama dengan jasad para revolusioner lainnya.
 
Keturunan Yahudi Yang Tersisih
 
Lahir pada bulan Maret 1871 di Zanosc, sebuah kota kecil di tenggara negara Polandia. Kelahirannya tepat beberapa hari sebelum kaum buruh di Paris mendeklarasikan Komune Paris, bentuk pertama pemerintahan sejati rakyat. Dia bungsu dari lima bersaudara dari keluarga kelas menengah keturunan Yahudi, yang mengenal makna tersingkir dan tertindas sejak belia.
Pada usia dua tahun keluarga mereka pindah ke ibukota, Warsawa. Di situ pula awal mulanya Luxemburg mengidap penyakit serius. Tulang-tulang tubuhnya tak tumbuh sempurna. Kakinya cacat. Dari tempat tidurnya ia belajar membaca. Sampai akhirnya Luxemburg kecil terlihat menonjol kecerdasannya. Seiring itu pula, jiwa pembebasnya yang terbentuk semenjak belia makin kokoh terbangun. Hasilnya, saat ia tamat sekolah dasar menjadi lulusan terbaik, namun dewan guru menolak memberikan penghargaan tersebut karena dinilai  “terlalu suka menentang pihak yang berwenang".
Menatap Luxemburg secara fisik, alangkah jauh dari gambaran keperkasaan pahlawan besar. Tubuhnya teramat kurus dan cenderung tidak proporsional, ukuran lengannya terlalu pendek.Tulang panggulnya tak rata, sehingga ia harus berjalan dengan kaki timpang. Toh, ia memiliki pesona tersendiri; binar matanya amat tajam, terpancar energi dan keyakinan luar biasa. Itulah yang mampu menundukkan  orang.
Tumbuh dengan jiwa pembebas, dengan semangat benci terhadap kezaliman, jelas bukan datang dari langit. Keluarganya lah yang mati-matian berjuang sebagai warga Yahudi yang tersisih, yang ikut membentuk keyakinannya. Ayahnya seorang terpelajar, memiliki pabrik kayu, yang memperkenalkannya dengan literatur politik. Ia mulai belajar tentang demokrasi modern. Sedang, sang ibu mewarisinya dengan kebijakan manusia. Seperti yang ditulisnya pada kawannya, Sophie Leibknect, Luxemburg mengatakan, ibundanya yang menganjurkan dirinya untuk membaca Injil sebagai sumber kebijakan manusia.   
Luxemburg tertarik dengan politik sejak di sekolah menengah, ia bergabung dalam pergerakan revolusioner bawah tanah, dan menjadi anggota salah satu sel Partai Proletariat, yang bersekutu dengan kelompok Narodnik (populis) di Rusia. Dua tahun sesudahnya ia mulai dicari-cari petugas, terancam ditangkap. Untuk menghindar dari pemerintahan otoriter Alexander III, ia  lari ke Swiss, pada tahun 1889.
Disana ia  belajar di Universitas Zurich, di bidang ilmu alam, ekonomi dan hukum. Ia ikut pula dalam perjuangan kelas pekerja, aktif dalam kehidupan politik  para imigran dari Polandia dan Rusia. Kota Zurich itu sendiri merupakan kiblat bagi kaum kiri untuk belajar, seperti dua orang Marxis termasyur dari Rusia, Plekhanov dan Akselrod. Rosa sempat belajar Marxisme, ikut perdebatan-perdebatan dan menjadi seorang teoretisi Marxis terkemuka. Di sana ia mematangkan Marxismenya. Ia meyakini dirinya sebagai bagian dari kelas proletar. Dia yakin, hanya sosialisme lah yang dapat memberikan kemerdekaan sejati dan keadilan sosial. Marxisme bukanlah hanya sebuah sistem teoritis untuk mengatasi semua persoalan, lebih daripada itu, dia merupakan metode menguji proses perubahan ekonomi pada masing-masing tahapan dari perkembangan sejarah beserta semua hasil dari kepentingan, gagasan, tujuan dan aktivitas politik masing-masing kelompok dalam masyarakat.
   Luxemburg berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu politik dengan menulis karya ilmiah tentang perkembangan kapitalisme di Polandia. Sebuah  gelar yang dianggap sebagai di luar kelaziman, lantaran pada waktu itu belum pernah ada perempuan yang sampai tingkat doktor.
1892, adalah titik awalnya secara total berserah diri dalam politik. Luxemburg mendirikan Partai Sosialis Polandia, namun beberapa waktu kemudian dia berselisih dengan para pimpinan Partai tersebut, yang dianggapnya terlalu berkompromi dengan nasionalisme borjuis.
Selanjutnya pada tahun 1893, bersama-sama dengan Leo Jochiches ia  mendirikan Partai Sosial Demokrat, yang bersifat lebih revolusioner. Masih sebagai organisasi bawah tanah, Luxemburg pergi ke Paris dan bekerja sebagai editor koran partai Sprawa Robotnicza. Selain sebagai penulis, ia lebih menyukai posisinya sebagai orator, sedangkan Leo lebih berkonsentrasi pada kerja-kerja organisasi. Dia menjadi seorang tokoh penting dalam Partai Sosial-Demokrat Jerman tanpa meninggalkan peranannya sebagai seorang pemimpin gerakan revolusioner Polandia.
Luxemburg mendapat kewarganegaraan Jerman tahun 1898 setelah menikah dengan Gustav Lubeck, seorang pimpinan sayap kiri SPD. Ia berpartisipasi pada Internasional Kedua dan pada revolusi 1905 di Rusia bergabung dengan partai Sosial Demokrat.
Seorang Petarung Sejati
Rosa Luxemburg adalah sang petarung sejati. Seorang visioner yang mempunyai pikiran jauh ke depan. Tak pernah gentar berhadapan dengan para pengkritiknya, berdebat dengan sesama orang revolusioner, dan tidak jarang berbeda pendapat dengan Lenin, karena keadaan di Rusia amat berlainan dengan kondisi di Jerman waktu itu, sehingga kaum Bolsyevik mengembangkan stategi dan taktik yang berbeda pula.
Ia selalu melawan unsur-unsur nasionalis dalam gerakan kiri Polandia. Waktu itu sebagian dari wilayah Polanda dikuasai oleh Rusia. Pada dasarnya Lenin setuju bahwa semua nasionalisme harus dilawan. Namun Lenin melihat masalah itu dari sudut pandangan seorang warga Rusia, yaitu seorang warga dari bangsa penindas, dan dia berusaha menyadarkan kaum buruh Rusia yang mesti menjamin hak rakyat Polandia untuk merdeka. Hanya dengan menjamin hak ini kaum buruh Rusia bisa ikut membantu dalam mengatasi nasionalisme di Polandia, karena nasionalisme muncul sebagai akibat dari penindasan yang dilakukan oleh administrasi Rusia.
Luxemburg menganggap sikap Lenin ini sebagai kompromi dengan nasionalisme. Perdebatannya kompleks, karena sebetulnya Luxemburg juga ingin menjamin hak tersebut untuk sejumlah bangsa tertindas lainnya. Pada dasarnya pendekatan Lenin harus dinilai lebih benar karena lebih dialektis. Dia menyimak perjuangan nasional dan perjuangan kelas dari dua sisi: "Kami orang Rusia harus menekankan hak rakyat Polandia untuk merdeka, sedangkan kawan-kawan Polandia harus menekankan hak mereka untuk bersatu dengan kami."
Luxemburg juga mengecam sepak terjang kaum Bolsyevik setelah mereka mengambil alih kekuasaan. Kritik ini, dalam sebuah naskah yang ditemukan setelah dia meninggal dunia, terkadang disalah artikan. Rosa dengan antusias mendukung revolusi Oktober yang dipimpin oleh Partai Bolsyevik: "Pemberontakan Oktober tidak hanya menyelamatkan Revolusi Rusia dalam kenyataan, tetapi juga menyelamatkan nama baik gerakan sosialis internasional ... masa depan kita di mana-mana diperjuangkan oleh kaum Bolsyevik."
Kritiknya yang ketiga menyangkut soal demokrasi. Sebelum Oktober, kaum Bolsyevik menuntut agar majelis konstituante (yang mewakili rakyat dengan cara parlementaris borjuis) mesti dipanggil. Setelah insureksi Oktober, ketika soviet-soviet (dewan-dewan utusan buruh, tentara dan petani) mengambil alih kekuasaan, pihak Bolsyevik tidak lagi mendukung majelis konstituante yang didominasi oleh pihak reformis dan borjuis itu.
Ketika majelis itu akhirnya berkumpul, malah dibubarkan oleh kaum Bolsyevik. Menurut Luxemburg tindakan ini tidak demokratik Tapi yang harus dimengerti di sini adalah perbedaan antara demokrasi borjuis dan demokrasi buruh (sosialis). Dalam prinsip, soviet-soviet adalah lebih unggul karena berdasarkan kaum buruh yang memilih wakil-wakil mereka di tempat kerja.Dalam kenyataan, soviet-soviet merupakan kekuasaan kelas buruh, sedangkan majelis konstituante dikuasai oleh pihak kontrarevolusi. Jika kaum Bolsyevik mau mempertahankan kekuasaan kelas buruh, mau tidak mau majelis konstituante harus dibubarkan.
Cukup jelas, bahwa salah satu kesalahan terbesar Rosa adalah ketidakbersediaannya untuk membangun sebuah partai tipe Bolsyevik beberapa tahun terlebih dahulu. Namun kita tidak boleh membandingkan Lenin dan Luxemburg begitu saja. Lenin mengembangkan sebuah partai tipe baru karena harus menghadapi kondisi baru di Rusia. Sebelum tahun 1914 dia tidak pernah menuntut agar Rosa keluar dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Malah Lenin lebih percaya pada para pimpinan partai itu. Baru ketika perang dunia meledak, dan para pimpinan sosial demokrat mengkianati kelas buruh dengan mendukung perang tersebut, Lenin akhirnya mengakui: "Rosa Luxemburg terbukti benar: sudah jauh-jauh hari dia sadar bahwa Kautsky adalah seorang teoretisi oportunis."
Pada tahun 1905, revolusi Rusia yang pertama meledak. Di sini, pemogokan massa menjadi motor revolusi, dan fenomena itu memberikan pengertian baru yang mendalam untuk memahami hubungan erat antara perjuangan ekonomi dan perjuangan politik. Para pimpinan sosial-demokrat seperti Bernstein dan juga Karl Kautsky (yang waktu itu masih mengaku sebagai seorang revolusioner) tidak setuju dengan pemogokan massa, karena mereka menganggap aksi-aksi semacam itu kurang politis. Namun Luxemburg menekankan bahwa di masa revolusi, perjuangan ekonomi berkembang serta meluas menjadi perjuangan politik, dan sebaliknya: Gerakan semacam ini tidak hanya bergerak ke satu arah, dari sebuah perjuangan ekonomi ke politik, tetapi juga dalam arah sebaliknya. Setiap aksi massa politik yang penting, setelah mencapai puncak, menimbulkan sejumlah pemogokan ekonomi massa. Dan prinsip ini bukan hanya relevan untuk pemogokan massa secara terpisah, tetapi juga untuk revolusi secara keseluruhan. Dengan perluasannya, klarifikasi dan intensifikasi perjuangan politik, perjuangan ekonomi bukan hanya tidak surut, bahkan sebaliknya berkembang luas sekaligus menjadi lebih terorganisir dan lebih intensif. Ada pengaruh timbal-balik antara kedua macam perjuangan itu.”
Setiap serangan dan kemenangan baru dalam perjuangan politik akan berdampak secara dahsyat kepada perjuangan ekonomi, karena dengan meluasnya cakrawala kaum buruh serta motivasi mereka untuk memperbaiki kondisi mereka, pengalaman tersebut juga mempertinggi semangat tempur mereka. Setiap selesai gelombang aksi politik, ada endapan subur, dari situ akan muncul ribuan perjuangan ekonomi, dan sebaliknya.
Puncak pemogokan massa adalah "pemberontakan terbuka, yang hanya akan terealisir sebagai titik kulminasi dari serangkaian pemberontakan lokal yang mempersiapkan medan (yang hasilnya selama beberapa waktu mungkin adalah kekalahan sementara, sehingga aksi tersebut mungkin tampaknya ‘gegabah’)." Betapa hebatnya peningkatan kesadaran kelas yang dapat dihasilkan oleh pemogokan-pemogokan massa ini: Yang paling berharga (karena paling abadi) dalam naik turunnya arus gelombang revolusi, adalah perkembangan jiwa kaum proletar. Keuntungan yang didapat oleh lompatan intelektual yang tinggi kaum proletar akan menjamin kemajuan mereka secara terus menerus dalam perjuangan politik dan ekonomi yang akan datang.”
Serangan yang gagal dari sayap kiri dari Partai Sosial Demokrat, "Liga Spartakus", di bawah kepemimpinan Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht, telah menyeretnya ke penjara --Spartakus adalah seorang budak yang memberontak pada zaman Romawi kuno; Liebknecht adalah satu-satunya anggota parlemen Jerman yang melawan Perang Dunia I semenjak awal--, di tahun 1916 sampai 1918.
Dari balik tembok penjara lah ia justru menemukan kekuatannya. Disini ia berjuang keras melewati masa-masa depresi, ia tak mengeluh mengatakan berjuta penderitaannya. Selain menulis tentang Revolusi Rusia, satu-satunya hal yang membahagiakan adalah bisa menulis surat untuk Leo-nya, yang berselisih 15 tahun, yang kemudian dijatuhi hukuman mati lantaran mengedarkan seruan mogok bagi para para tentara dan buruh pabrik senjata. Sebelum kematiannya, dia telah memutuskan dengan Clara Zetkin dan Mathild Jacob untuk mempublikasikan tulisan-tulisan karya Luxemburg.  Hanya pada Leo lah ia nyatakan kepedihan hatinya: Jika saat ini, nyawaku mendahului pergi, aku tak sanggup lagi berkata-kata sebagai ungkapan perpisahan, dan hanya bisa menerawang dengan tatap kosong keputusasaan. Sejatinya, aku jarang sekali berkehendak untuk bicara. Minggu-minggu berlalu tanpa mendengar suaraku sendiri”.
Surat-suratnya terus mengalir dari penjara. Luxemburg, seseorang yang mempunyai kecintaan yang dalam pada kehidupan, dia juga meluangkan waktu dengan merenungkan “burung-burung, hewan serta puisi.”
Tentang Perjuangan Perempuan
Kendati secara khusus jarang menulis tentang gerakan perempuan, terhadap gerakan perempuan sikapnya jelas. Baginya, kebebasan perempuan adalah bagian dari pembebasan dari penindasan kapitalisme. Ia menentang pemisahan terhadap gerakan perempuan dan gerakan politik. Sebagai ketua partai ia lebih menempatkan dirinya sebagai pimpinan revolusioner dari laki-laki dan perempuan. Ia berdiri mutlak diantara  pertarungan politik.
Menurutnya, perempuan dapat mencapai kemerdekaannya secara penuh hanya dengan memenangkan revolusi sosial dan menyingkirkan perbudakan ekonomi mereka pada institusi keluarga, dan dia mencurahkan seluruh energinya untuk dipersembahkan pada revolusi. Luxemburg menolak pandangan tentang peran-peran stereotip perempuan yang biasanya, yang lazimnya ada di organisasi.
Ia tak pernah tertarik pada fungsi-fungsi administratif, keuangan, dan kerja-kerja pengorganisiran.Ia lebih suka berpidato dan menulis.Ia memahami pentingnya mengorganisir perempuan untuk menjadi bagian dari perjuangan revolusioner, dia tetap menolak untuk dipaksa dalam beberapa peranan tradisional perempuan ke dalam partai. Luxemburg memandang perempuan sebagai bagian yang terekspoitasi, termasuk di dalamnya kelas pekerja, bangsa-bangsa minoritas dan petani. “Seorang perempuan, harus berani untuk terlibat dalam politik, sebuah wilayah yang hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki”, demikian ungkapnya.
Dalam sebuah surat yang ditulis yang ditulisnya di penjara, dia meminta Sophie  Liebknecht untuk meneruskan bacaannya. “Engkau harus terus-menerus mengasah batinmu, dan hal tersebut akan sedikit mudah untukmu jika fikiranmu senantiasa segar dan lentur”.
Dalam sebuah pidato pada Rally Perempuan Sosial Demokratik Kedua, 12 Mei 1912, Luxemburg menyatakan bahwa hak memilih kaum perempuan adalah sasaran yang tepat. Dia berpendapat bahwa “gerakan massa untuk memperolehnya bukanlah (sekedar) tugas bagi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat proletariat. Lemahya hak-hak yang diberikan oleh pemerintah Jerman adalah hanya salah satu rantai belenggu yang menghalang-halangi kehidupan masyarakat. Lemahnya hak-hak pada kaum perempuan menjadi alat yang paling penting dari klas kapitalis yang berkuasa.”***