Minggu, 10 Juli 2011

Serahkan Bangsa ini , di tangan Pemuda !!!



oleh: Pimpinan Nasional FPPI

“Untuk apa melahirkan sekian ratus Sarjana, jikalau nantinya toh akan menindas rakyat miskin dan tak berdaya” demikianlah ungkapan yang sempat dilontarkan seorang rohaniawan Romo Mangun Wijaya Pr, yang secara tegas menyatakan bahwa hari ini  ternyata dunia pendidikan belum mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang sedang  berkemelut ditengah-tengah realita masyarakatnya. Jika kita hendak mengamati secara Implisit sejarah lahirnya institusi pendidikan di Indonesia yang diawali pada tahun 1900, berbarengan dengan jalannya Ethiek Politiek (baca: Politik Etis) atau yang lebih familiar dan kita kenal sewaktu mempelajari sejarah di SD, SMP,& SMU sebagai Politik Balas Budi [1], yang secara fundamental membuat 3 kebijakan dalam hal: Edukasi, Irigasi dan Emigrasi.
Ketiga hal tersebut oleh pemerintahan kolonial dijadikan sebagai ruang legitimasi untuk tetap mempertahankan ekspansi ekonominya secara membabi-buta. Selaku mahasiswa yang sering disebut dengan agent of change, sudah selayaknya kita mengerti dan dapat menguraikan tentang peran kebijakan dibidang Edukasi tanpa harus meninggalkan dua kebijakan di belakangnya yang sangat mempunyai keterkaitan.
Hal pertama yang ingin coba saya paparkan adalah bahwa kebijakan di ruang Edukasi ternyata sangat mempunyai otoritas yang cukup dominan dalam membangun konstruksi berpikir masyarakat Indonesia ke depan, di Era kolonial kita mengenal adanya cultuurstellsel yang di dalamnya terdapat suatu bentuk Eksploitasi yang dijalankan bersama antara Pemerintahan Kolonial selaku pemilik modal dan Tuan Tanah selaku komprador (baca:pengkhianat) / pemegang otoritas lahan produksi dalam suatu daerah. Sasaran utama atas monopoli ekonomi adalah rempah-rempah dan kekuasaan daerah jajahan, maka dalam hal ini untuk meningkatkan efisiensi eksploitasi pada daerah jajahan didatangkan berbagai macam mesin di antaranya adalah Kereta Api, yang seiring pula dengan meletusnya Revolusi Industri di Inggris. Ternyata kerakusan kaum kolonial tidak hanya sampai pada monopoli perdagangan dan kekuasaan jajahan, namun penghancuran sendi-sendi berpikir masyarakat dengan memberikan ruang pendidikan pada para anak Bangsawan dan Priyayi, agar tradisi Feodalisme yang selama ini menguntungkan pihak Kolonial tidak akan lenyap.
Sarana yang diberikan pada anak-anak Priyayi, dalam hal pendidikan ternyata tidak lebih hanya menghasilkan tenaga operasional / administratif dalam menjalankan mesin-mesin yang digunakan pemerintah kolonial untuk meningkatkan efisiensi monopoli ekonominya, namun Infrastruktur yang mengatur tetap Pemerintah VOC. Maka seiring dengan penindasan yang terjadi di tubuh kaum terdidik pri-bumi/anak bangsa, beberapa dari mereka menyatakan untuk melakukan perlawanan dilandasi semangat Nasionalisme yang begitu kuat seperti : Tirto Adi Suryo, Mas Marcokartodikromo, Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarno dan Tan Malaka. Mereka sadar karena telah menjadi korban praktek pendidikan kolonial untuk semakin mempersempit ruang kesadaran masyarakat terhadap makna kemerdekaan 100%.
***
Konteks intelektual, yang mana dia sadar pada proses penindasan dan melakukan pembebasan melalui basis kemampuan Intelektualnya dengan ruh atas jiwa Nasionalisme yaitu, berdaulat secara utuh terhadap ruang Ekonomi dan Politik demi kemerdekaan yang telah tercerabut oleh kekuatan dominatif Imperalisme, yang oleh seorang Neo-Marxis asal Italia “Antonio Gramsci” dinamakan Intelektual Organik [2]. Bentuk perlawanan yang diberikan kaum terdidik Pri-Bumi ter-akumulasi dalam pola Pergerakan, yang dalam kamus besar bahasa Indonesia ialah “Perubahan” yaitu dengan membuat Novel, Puisi, Pemboikotan Pabrik dan mendirikan Sekolah Rakyat.
Paradigma pendidikan yang di Era kolonial memakai orang-orang Pribumi sebagai tenaga operasional dan administratif VOC, ternyata hari ini mengalami semacam proses Reinkarnasi, yaitu Institusi pendidikan ditingkat pusat maupun daerah melalui Otonomi Daerahnya semakin menampakkan taring komersialisasi yang secara hakekatnya ialah Etos kapitalisme melalui sistem Edukasi. Tercerabutnya mental dan semangat dalam membangun bangsa ini ternyata banyak mendapat warna dari kekuasaan pemimpinnya, jika kita tengok pasca hengkangnya kolonialisme di Indonesia, yang menyisakan banyak semangat perlawanan untuk memerdekakan Nusantara. Ternyata angin Demokrasi yang didambakan setiap kepala manusia Indonesia tidak terwujud, situasi obyektif yaitu di Era soekarno memakai paradigma politik sebagai panglima untuk membangun bangsa ini, namun ternyata kandas oleh kekuasaan tunggalnya selaku panglima besar Revolusi Indonesia dengan sistem Demokrasi Terpimpin-nya. Masa transisi demokrasi yang dibarengi dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September yang sampai hari ini masih menjadi sejarah kejahatan HAM di tanah Nusantara dan proses cuci otak masyarakat Indonesia akan isu Komunisme yang sarat dengan tindakan anarki serta tidak ber-Tuhan. Tirani / kekuasaan yang dipimpin oleh Soeharto pasca penurunan Soekarno melalui SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) di tahun 1966, menggunakan kiblat Ekonomi sebagai Panglima dengan nuansa Developmentalisme atau Pembangunan-isme [3].
Gelombang perubahan akan nasib bangsa ini ternyata masih terseok-seok, ketika presiden Soekarno sangat menentang habis Imperalisme dalam wujud bantuan Internasional, namun saat kepemimpinan di pegang oleh Soeharto liberalisasi ekonomi tahap ke-2 memulai bentuknya, yang dengan kasat mata dinamakan sebagai Orde gagah-gagahan melalui sekian proyek mercusuar-nya yang tidak signifikan. Melalui putaran Tokyo tahun 1966 (Tokyo Around) , yang darinya Indonesia mendapat kebaikan negara-negara maju untuk menjadwal ulang hutang-hutang yang diwariskan Orde Lama, adalah penjualan Tanah Air Indonesia sebagai jaminan utang Orde Baru. Keterlibatan Indonesia dengan Internasional dalam rantai pertukaran timpang (unequal exchange) dimulai dari sini, dikenal sebagai Peraturan Oktober, yang dilandasi oleh kerakusan sekaligus kebodohan para penguasa, lagi-lagi  punggung rakyat Indonesia kembali ditimpa kemiskinan akibat Kapitalisme Internasional. Dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, oleh ibu Tien Soeharto. Mahasiswa menolak keras sebab, masyarakat tidak perlu pembangunan berlebihan namun lebih mementingkan makan hari ini. Ditandai lahirnya Tri-Tura (Tiga Tuntutan Rakyat) sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat yang diwakili oleh massa mahasiswa, dikenal sebagai peristiwa MALARI (Malapetaka 15 Januari) dengan penggebukan beberapa aktivis dan pendudukan kampus oleh Tentara.
Pasca demontrasi yang dilancarkan, praktis semua kegiatan kampus yang berbau politis dan mengganggu stabilitas Nasional, diberangus melalui Paket NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus). Yang mana produk hukum ini membelenggu berbagai ekspresi yang keluar dari mahasiswa ditambah pula kondisi sosial masyarakat yang menggambang atas ruang Ideologi dan Politik (Floating Mass) , sampai akhirnya banyak yang melakukan pola perlawanan dari dalam kampus dengan membentuk Pers-Ma, Kelompok-Kelompok Diskusi, LSM dsb, atas dasar kekecewaan pada situasi Nasional.
Yang sampai 1998 mendapatkan angin segar dan kembali turun kejalan, untuk menumbangkan tirani Kang mas Soeharto selaku Tonggak Stabilitas Nasional , yang sangat mempunyai watak dan karakter Otoritarianisme Birokratik. Namun yang sangat ingin saya jadikan pegangan dalam menilai Character National Building atau Bangunan Nasionalisme yang dimiliki oleh generasi terdahulu, dengan semangat sebagai tenaga terdidik pribumi yang sadar pada proses penindasan dan penghisapan oleh Kolonialisme.
Secara substansi, dapat dikatakan bukan pada semangat Patriotisme dan Romantisme sejarah, namun lebih merupakan paralelisasi atas realita yang terjadi disatukan dengan bekal basic keaneka-ragaman pengetahuan, diselimuti jiwa yang populis / merakyat dimana orientasi adalah menggali jiwa ke-Indonesiaan guna mendapatkan kedaulatan yang penuh atas yang namanya Tanah, Air dan Udara yang itu merupakan alat pertahanan kita dalam menjaga keutuhan bumi Nusantara dari cengkeraman NEKOLIM (Neo-Kolonialisme-Imperalisme).
Bentuk-bentuk NEKOLIM yang hadir dalam perwajahan pendidikkan kita hari ini yang berupa anjuran IMF terhadap pemerintah Indonesia untuk menghapuskan subsidi pendidikan [4], yang kemudian dilegitimasi dengan kemunculan UU Sisdiknas [5],  mampu membuat beberapa siswa sekolah dasar untuk bunuh diri, segerombolan siswa-siswi SMU 6 turun ke jalan dan masih banyak yang menikmati pendidikan dengan hanya bermimpi di siang bolong sebab harga pendidikan yang kian melambung tinggi setinggi langit. Kiranya semangat pendidikan kita kali ini masih sama dengan program Edukasi di Politik Etis bahwa yang dapat menikmati pendidikan hanyalah kaum priyayi. Maka bisa dikatakan bahwa mahasiswa hari ini mewakili semangat dari priyayi itu sendiri karena tidak semua bisa mengenyam pendidikan. Seperti kata seorang kawanku dari pelosok desa “buat apa menghabiskan sekian juta rupiah hanya untuk ilmu yang sebetulnya bisa kita dapatkan dengan gratis di perpustakaan-perpustakaan daerah”.   
Kemudian dimanakah letak ke”maha”annya seorang mahasiswa itu? Apakah terletak di dalam megahnya almamater yang kita gunakan saat ini atau terletak dalam Ilmu pengetahuan yang kita miliki hari ini untuk mendorong perubahan sosial di dalam masyarakat?  
Adalah pilihan bagi kita ketika hadir dibangku kuliah dengan orientasi mengejar nilai tanpa mampu mempararelkan dengan situasi yang terjadi, atau kita sadar bahwa bangsa ini menjadi tanggung jawab kita selaku Pemuda-Pemudi Indonesia dengan kalbu Nasionalime akan membawa pada perubahan yang didalamnya terjadi persatuan, pluralitas dan jiwa-jiwa kritis rasional.
Semoga menjadi pembacaan bagi kawan-kawan yang senantiasa mendambakan perubahan atas Tanah Nusantara seutuhnya, yang mana menjadi seorang Intelektual harus mempunyai keberpihakan pada masyarakatnya, bahwa kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya harus segera dikabarkan ke segala penjuru.
Semoga saya tak salah menaruh harapan ini kepada kawan-kawan semua….

“Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera,
kebenaran akan menjadi barisan depan mata dan kemuliaan Tuhan barisan belakangmu.”
(Yesaya : 58:8)

MENDIDIK RAK’JAT DENGAN PERGERAKAN
MENDIDIK PENGUASA DENGAN PERLAWANAN


[1] Edukasi dalam Politik Etis ini bukanlah suatu politik balas budinya Belanda, melainkan kaum-kaum terdidik itu dipersiapkan untuk menjadi sekrup-sekrup industri kereta api bagi keberlangsungan eksploitasi Belanda.
[2] Intelektual Organik merupakan intelektual yang bergerak atas amanat penindasan rakyat, jadi dia bukan Intelektual Tradisional yang bagi Gramsci adalah seorang intelektual yang tanpa hati nurani dan konservatif pemikirannya.
[3] Suatu paham yang mengajarkan mengenai bentuk-bentuk modernisasi yang ditandai dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan symbol-simbol kemwahan yang lainnya yang sama sakali tidak dibutuhkan rakyat Indonesia kala itu.
[4] Dengan tidak adanya subsidi pendidikan ini praktek-praktek komersialisasi pendidikan mulai merajela. Hanya ada dua pilihan bagi institusi kampus untuk menghadapi ini, berbisnis atau menaikkan harganya.
[5] Kemunculan UU Sistem Pendidikan Nasional ini ditutupi dengan isu-isu SARA guna mengaburkan semangat liberalisasi dalam dunia pendidikan itu sendiri yang berupa otonomi kampus.

0 komentar:

Posting Komentar