Minggu, 10 Juli 2011

Cakrawala Nademkra


Awalnya adalah sejarah. Keprihatinan atas krisis mendasar dan menyeluruh yang dialami rakyat Indonesia mendorong kita semua untuk memaknai pergerakan tidak semata-mata dalam bingkai kepentingan sebuah sikap politik melainkan dalam pengertian yang lebih utuh sebagai praksis dari sikap sejarah. Kita tahu, saking lama dan kronisnya praktek penindasan, ia tidak lagi tampil dalam ujud sistem yang represif dan menghisap. Praktek penindasan itu bahkan telah menampilkan dirinya selayak monster gurita yang penuh kasih (!) yang menghantui bukan saja alam sadar tetapi juga dunia bawah sadar kita sebagai bangsa. Meminjam perspektif psikohistoris foucouldian, hubungan yang sudah terlampau “intens” antara sang penindas dengan mereka yang tertindas melangsungkan bukan saja rentang dominasi atau hegemoni. Lebih jauh, kita semua telah dan sedang mengenyam episode sosial yang dapat kita istilahkan sebagai homogenisasi, suatu keadaan mental dan material yang lahir dari peristiwa identifikasi kolektif dari mereka yang tertindas kepada mereka yang menindas. Pada episode ini, tidak ada perbedaan mendasar antara sikap dan angan politik golongan tertindas dengan kaum penindas.
Pembaruan pengertian perubahan dengan munculnya sekelompok garda depan harus berhadapan dengan ‘sial’-nya homogenisasi. Jelas tertayang dalam layar keseharian politik kita pasca 1998, garda depan atau para pelopor ini ternyata tak sanggup untuk mengelak dari dua ekstrimitas: antara menjadi bagian dari skema umum praktek penindasan-penghisapan atau terlempar sama sekali dari logika dan arus umum jagat politik Indonesia[1].  Lebih gawat lagi, tanpa maksud memandang nyinyir terhadap siapa melakukan apa terhadap Indonesia beberapa tahun terakhir, ada sedikit kekhawatiran bahwa mereka yang dengan suara lantang dan tindakan keras menentang penindasan sekalipun belum tentu bersih dari nilai-nilai, norma, atau paling tidak angan-angan, yang pernah ditanamkan kaum penindas sebagai bagian dari upaya sadar melanggengkan penindasan.
Tanpa pretensi mengejek suatu golongan, lewat kesempatan ini saya mengajak kaum pergerakan Indonesia sebagai pembaca (!dan dalam hal tertentu juga ‘pelaku’) ideologi-ideologi besar dunia untuk melanjutkan adagium V.I. Lenin yang menyatakan “tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner” dengan sebuah coretan kecil: “sampai kapanpun, maksud-maksud gerakan revolusioner tidak akan tercapai tanpa kesadaran revolusioner”.
Jauh lebih sulit dari manusia sadar manapun yang pernah mengalami Indonesia di masa lalu, kita sekarang menjadi generasi yang hidup di belantara ironi. Campur aduk kepahaman intelektual kita tentang realitas sosial dan kegelisahan yang tak kunjung padam menyangkut cita-cita minimal yang masih mungkin kita terapkan pada tata sosial ekonomi politik kita, mendorong kita untuk terus bertanya: adakah pengalaman kerja ideologis dan kesanggupan akademis yang bisa dijadikan alas memahami secara persis kunci-kunci sejarah yang memungkinkan kita lepas dari belenggu masa lalu dan masa kini keterasingan?
Sungguh. Untuk bebas dari dan apalagi membebaskan Indonesia dari sejarah keterasingan, kita butuh kesadaran, bukan sekedar teori. Darimanakah kesadaran? Buku bertumpuk-tumpuk dan diskusi berbusa-busa itu mungkin belum memuaskan atau memenuhi hajat kita. Sederet statemen politik dan bahkan agenda aksi barangkali juga belum dapat mengurai buhul-buhul ketersesatan dalam praksis wacana dan wacana praksis kita. Apa yang salah? Di mana yang benar?
Tulisan pendek ini tidak berpretensi menyelesaikan problem-problem dasar yang saat ini meliputi kaum pergerakan. Maksud tulisan ini sederhana: menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Bisa jadi apa yang kita gagas dan cita-citakan tidak punya cela walau tetap saja tidak mungkin bisa sempurna. Akan tetapi kronoaksi yang kita lakukan untuk mewujudkan gagasan dan cita-citakan itu, mungkin masih banyak mengundang cela. Karena itu, bukan keinginan mengkoreksi gagasan atau cita-cita yang mendorong lahirnya tulisan ini. Tulisan ini “disusun” sebatas dalam rangka mengenali secara lebih teliti politik wacana, pengorganisiran gagasan, yang selama ini dilakukan kalangan pergerakan di Indonesia terhadap dirinya dan terutama berkaitan dengan keadaan di luar dirinya. Harapannya, dengan pengenalan dimaksud, kita semua dapat menghindari terjadinya jungkir balik teori dan lintang pukang aksi, misalnya, dengan memahami yang sebenarnya teklap menjadi ideologi atau strategi dan demikian sebaliknya. Atau menghindari salah perlakuan: hal politik diperlakukan (diatasi) dengan pendekatan etis sementara hal etis diselesaikan secara politis.
Maka, kita perlu kejujuran. Selubung pergaulan, baik karena arogansi maupun karena perasaan tidak kenal dengan asal usul gagasan sesama kawan, harus kira terima apa adanya untuk kemudian kita bersihkan bersama. Yang jelas, kalau pergerakan memiliki cita-cita, maka bukan saja apa cita-cita pergerakan yang penting untuk bisa diterima. Tidak kalah penting dari itu semua adalah cara pergerakan menempuh cita-cita. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menyalahkan seseorang atau suatu golongan untuk bercita-cita. Tapi orang atau segolongan orang bisa saja dipersalahkan sampai tujuh turunan karena salah memilih cara menggapai cita-cita. Lebih buruk lagi, kita harus sadar dan menghindari kemungkinan bahwa cara kita menempuh cita-cita justru menjauhkan kita dari cita-cita semula.
Setelah cara, baru kemudian kita bicara alat, perkakas, yang akan memudahkan kita mewujudkan cita-cita. Sampai di sini, kita menemukan sekurang-kurangnya empat faktor yang penting bagi masa kini dan masa depan pergerakan. Pertama, orang-orang atau manusia yang bukan saja mensepakati tetapi juga meyakini jalan politik pergerakan. Kedua, gagasan atau cita-cita sebagai software sekaligus senjata kaum pergerakan menghadapi musuh-musuh di dalam diri dan di luar dirinya. Gagasan dan cita-cita ini sekali-kali harus dibedakan dengan utopia. Walaupun untuk banyak keperluan ia harus bisa dirumuskan secara teoritis, ia juga bukan semata-mata teori. Gabungan dialektis antara refleksi sejarah dan kesadaran ekonomi politik merupakan isi (content) dari cita-cita pergerakan. Ketiga, cara atau metode yang diturunkan dari rumusan gagasan pergerakan. Faktanya, cara tidak boleh mengorbankan tujuan. Taktik tidak boleh memakan strategi. Di sini, kemampuan untuk mengklarifikasi mana cara dan apa itu tujuan sangat penting bagi kaum pergerakan. Keempat, alat atau perkakas pergerakan. Dalam arti dasar, perkakas ini bisa dicukupkan dengan organisasi. Akan tetapi pada pengertian pergerakan sebagai suatu operasi sosial, apapun –baik berupa kondisi ataupun fakta-fakta sosial kemasyarakatan­­­­­ bias-- dijadikan alat. Organisasi hanyalah bentuk perpanjangan tangan yang memudahkan kita menjangkau ruang dan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan kita menggerakkan mesin besar bernama sejarah.
Memahami keempat faktor di atas secara utuh akan memungkinkan kita melihat pergerakan secara wajar. Artinya ia bisa berurusan dengan perkara-perkara “besar” berkaitan dengan katakanlah perubahan sejarah masyarakat sekaligus berhubungan dengan perkara-perkara “kecil” berkaitan dengan cara pandang (subyektif) kita atas diri sendiri, masyarakat, negara, perubahan dan lain sebagainya. Besar dan kecil di sini dijajar bukan dalam skala prioritas tentang mana yang lebih dan mana yang kurang penting. Keduanya bisa sama-sama penting dan mungkin juga sama-sama tidak penting. Karena itu, di samping memiliki keharusan untuk mempertautkan diri dengan ide-ide besar perubahan dan pergerakan, kalangan pergerakan diharuskan selalu mengkorespondensikan dirinya dengan kenyataan pokok di mana dan sebagai apa dia hidup. Di sini, menghubungkan secara rasional (artinya menyadari) kesenjangan yang selama ini tercipta antara ancangan politik dengan keberadaan diri menjadi sesuatu yang penting.
Jelas, kita harus menghindari kejadian yang dialami banyak golongan bahwa mereka terasing dari keberadaan diri dan juga masyarakatnya hanya karena kekeliruan memperlakukan gagasan atau pengertian yang ia atau mereka sadari. Sekaranglah waktunya pergerakan menyusun bukti-bukti bahwa kalau ia (pergerakan) berpolitik, ia tidak berpolitik di dunia lain, misalnya, di dunia buku-buku atau catatan teori. Selaput tipis yang menjaraki kita dengan realitas (kita sering menipu diri dengan menyebut selaput tipis ini sebagai jarak antara idealisme dengan kenyataan, antara das sein dan das solen) harus segera kita tabrak atau lampaui dengan sejenis keberanian bahwa sesungguhnya kita tidak berbeda dengan mereka (orang-orang) yang sehari-hari kita fahami sebagai masyarakat.
Ya. kita ini masyarakat. Politik kita ya politik masyarakat. Ideologi kita ya ideologi masyarakat. Begitu juga angan dan cita-cita kita. Mampukah kita memulai orbit pergerakan dari pengertian ini? Berbeda dengan orbit pergerakan yang selama ini, secara sadar maupun tidak, terposisikan sebagai pejuang masyarakat yang diidealisasikan berjarak dengan masyarakat sebagai keutuhan, sepertinya kita sudah layak mengharuskan diri kita menghapuskan benak atau psikomotorik politik sebagai pejuang. Bahwa cita-cita pergerakan masih harus diperjuangkan itu benar adanya, akan tetapi tentu bukan kesalahan besar kalau bersama dengan perjuangan yang kita lakukan, kita juga membangun keterpautan dengan sebentuk kerendah-hatian untuk mengakui bahwa bukan cuma kita yang saat ini sedang dan terus berjuang.

II

Musuh mengepung kita. “Mereka” menghadang kemanapun langkah kaki melangkah. Sejak kapan “ia” menjadi “mereka”? Sejak kita tak tahu siapa “kita”,  siapa “saya” sehingga berusaha mengetahui siapa “kita”, siapa “saya”, dengan mencari-cari siapa “ia”, siapa “mereka”. Jelas musuh kita hanya satu: ketidakmengertian kita atas diri kita: sebagai individu dan kolektif politik. Maka, sekarang kita dikepung ketidakmengertian itu: mereka begitu banyak. Berhimpun di dalam fikiran kita dan “pengetahuan” kita. Bahkan mereka memasyukkan kita dalam mimpi-mimpi indah tentang cinta, revolusi, perubahan, kebangkitan, kemenangan, kejayaan, dan seluruh jaringan cita-cita sejarah yang mulia dan terkadang memabukkan.
Sejak kita lahir di bumi Indonesia, musuh itu meyelusup dalam diri pribadi dan mengelabui kita dengan himbauan-himbauan suci memusuhi mereka di luar diri kita. Di sinilah dapat kita temukan geneologi lupa yang merupakan pangkal segala bencana. Bencana rasa, bencana jiwa. Saya lupa, Anda lupa, mereka lupa, kita semua lupa. Pangkal sejarah luka parah bangsa ini adalah lupa. Lupa pada diri sendiri, pada asal dan tujuan hidup merdeka. Tidak ada kawan tidak ada lawan, tiba-tiba kita merasa berkawan dan melawan. Mungkin kita berkawan dengan mereka atau dia yang sesungguhnya cuma anggap sebagai kawan dan lalu menggempur habis-habisan mereka atau dia yang kita sangka sebagai lawan. Darimanakah duga sangka itu kalau bukan dari lupa?
Pikiran, cita-cita, gagasan adalah cara kita mengenali dan mungkin memperkenalkan siapa diri kita. Tapi ia –pikiran, cita-cita, dan gagasan itu, bukan diri kita. Ideologi adalah alat kita mengkomunikasikan kepada masa depan kita dan khalayak di luar diri kita tentang apa yang harus, akan, pernah, dan sedang kita lakukan. Siapa diri kita tidak bisa hanya ditemukan dengan melihat dan memandang apa gagasan kita. Seutuhnya diri kita hanya mungkin kita temui dalam rangka kejujuran menelanjangi diri sendiri di hadapan nurani. Asal usul geografis dan historis (kita dari kota X dari angkatan y) sudah waktunya kita terobos dengan bilah kesadaran bahwa kita, manusia, tidak mungkin ditepatkan pada kontek ruang-waktu instrumental tanpa kita menyentuh ruang-waktu substansial.
Kita, berbeda dengan binatang, adalah makhluk yang menyejarah. Dibentuk dan membentuk sejarah. Momentum penciptaan (kesadaran) kita yang nirkala dan keberadaan kita yang jatuh dalam jerat kala meniscayakan bangunan diri yang siap melampaui segala bentuk verbalisme komunikasi nilai-nilai dan praksis kehidupan baik itu bernama agama, ideologi, ilmu pengetahuan, teori sosial, faham politik, dan lain-lain. Salah satu kapasitas yang kita miliki sebagai manusia adalah melintasi batas-batas ide, sejarah, apalagi batas negara dalam arti teritori. Lampaui itu semua, mari kita bicara sebagai manusia. Merdeka!!!
Di atas manusia ada manusia lain. Di bawah manusia lain, ada manusia. Ada manusia gagal, ada manusia berhasil. Yang dulu pernah gagal, dipersilahkan mencoba kembali sekarang. Mempertuhankan manusia kita tahu akibatnya. Membarangkan (reifikasi) juga kita tahu asal-usulnya. Mari kita temukan kemanusiaan kita pada titik tengah di antara kedua ekstrimitas yang lahir dari akar ekonomi politik yang sama itu. Di situlah letak nusantara dalam peta gagasan dunia, sayangku.

III

Ada problem psikologis yang harus segera kita atasi seiring berlalunya waktu dan keterlibatan kita dalam pergerakan. Problem tersebut berkembangbiak dari Kenangan Besar yang sering tanpa sadar kita pelihara berupa kenangan tentang (kita) yang pernah bersama ribuan atau bahkan jutaan massa di seluruh penjuru bumi nusantara memuntahkan tenaga besar yang mengguncang meja gambar politik Indonesia yang getarannya masih kita bisa rasakan sampai hari ini; kenangan bahwa (kita) selama bertahun-tahun --dimulai dengan merayap, berjalan tertatih-tatih, lari tunggang langgang, sampai berbaris tegap—pernah dan mungkin masih membangun kekuatan pikiran dan tindakan politik demi segera diluncurkannya program-program perubahan di Indonesia; kenangan bahwa (kita) pernah atau sering dan bahkan mungkin masih keluar masuk kampung-kampung, blusukan di gang-gang sempit perkotaan (juga dengan sempitnya kesempatan) mengorganisir apa yang menurut kita penting untuk diorganisir: pemuda, petani, pelajar, buruh, dan seterusnya dan seterusnya.
Bagaimana kalau kenangan itu kita lupakan? Lupakan bahwa kita pernah atau sedang beriringan dengan gerak kolektif massa-rakyat di Indonesia melawan praktek-praktek penindasan. Lupakan bahwa kita semua pernah dan sedang menghancurkan tirani. Lupakan bahwa kita pernah menjatuhkan fasisme-militeristik Orde Baru. Lupakan bahwa kita pernah melawan dan kemudian meruntuhkan (sebagian) sendi-sendi kekuasaan Soeharto. Kalau kita lupakan itu semua, apa yang tersisa di benak pikiran dan relung kesadaran kita?
Masihkan kita punya elan vital untuk tetap berbicara dan sadar-diri akan perubahan? Masihkah kita sanggup berdiri tegap dan menyatakan –paling tidak pada diri kita sendiri: “ya, saya manusia pergerakan”? Masihkah?
Jangan-jangan kita saat ini tengah tertidur di atas empuknya kenangan pergerakan dengan mimpi perubahan. Sungguh saya mohon maaf kalau asumsi ini terbaca seperti sebuah sinisme. Tapi dari sekarang mari kita jujur. Kalau benar saat ini kita tertidur (bisa jadi karena terbukanya kesempatan untuk tidur –ketika simbol despotisme Orde Baru turun tahta pada tahun 1998—setelah beratnya hari-hari perlawanan yang pernah kita lewati), mari kita bangun. Sudah hukum alam kalau –entah pada saat kita tertidur atau pada saat setengah terjaga—kita menyambut datangnya fajar yang kita rayakan dengan mendeklarasikan FPPI dan berseru-seru di bawah langit kegembiraan Indonesia satu rangkai kata NADEMKRA.
Sebagai alat komunikasi, FPPI adalah ‘kentongan’ yang menandai datangnya pagi. Sementara NADEMKRA adalah ingatan yang akan kita jadikan piranti mengisi hari-hari. Jadi, NADEMKRA bukanlah kenangan yang menyeruak begitu indahnya di saat kita lupa; ia adalah cita-cita yang tidak sedikitpun dimaksudkan untuk memuja masa lalu, betapapun indahnya, betapapun hebatnya. Beberapa simpul dalam NADEMKRA memang bersumber dari kolong-kolong penindasan yang paling dan pengalaman sejarah perlawanan masyarakat Indonesia, tapi ia sama sekali bukan masa lalu perjuangan melawan penindasan. Ia adalah kesadaran kita hari ini, sampai nanti. 

IV

Selamat membaca. Anda semua yang akan membuat tulisan ini berguna atau sama sekali tak bermakna. Terimakasih. Selalu jaga kesehatan.



[1] Kalau istilah penindasan-penghisapan di sini teranggap sebagai istilah yang arogan atau terlalu ngawu-awu, baiklah kita pakai ujaran anti-rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar