Ferry Hidayat
--------------------------------ËËË--------------------------------
‘Kuman’ Mazhab Barat
Jika Indonesia diibaratkan suatu rumah, maka rumah itu kini penuh sesak dengan berbagai mazhab pemikiran. Ada mazhab Islam, ada mazhab Barat, ada mazhab Timur, ada mazhab Indonesia. Dan di dalam mazhab itupun ada lagi fragmentasi: ada mazhab Islam-tradisional, ada Islam-modern, ada Islam neo-modern. Di dalam mazhab Timur, ada mazhab India, mazhab Jepang, mazhab Cina. Di dalam mazhab Barat, ada mazhab developmentalisme, mazhab sosialisme-demokrat, mazhab kapitalisme, mazhab komunisme, mazhab nasionalisme radikal. Di dalam mazhab Indonesia, ada mazhab Sumatra, mazhab Jawa, mazhab Sunda, mazhab Sulawesi, dan lain-lain. Mazhab Islam adalah mazhab yang amat agresif saat ini, tercermin dari tuntutannya untuk menegakkan Syari’at, mendirikan ‘Negara Islam’, dan menerima Islam sebagai satu-satunya mazhab yang benar yang mesti dipeluk semua orang di Indonesia. Untungnya, itu cuma tuntutan. Secara riil, mazhab Islam tidak berkuasa dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun mazhab Barat, maka mazhab inilah yang memiliki kekuatan riil baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mazhab Timur bermain-main dalam ruang pinggiran di sisi rumah, sedangkan di sisi satunya lagi di pojok rumah berada mazhab Indonesia.
Mazhab Islam seperti seorang anak kecil yang merengek-rengek minta diberi makan dari Ibu Indonesia, sementara Ibu Indonesia menganggapnya ‘anak haram’, hasil pernikahan gelap Ibu Indonesia dengan Syekh Arab. Mazhab Barat seperti seorang anak kecil bongsor, gemuk, gempal, bahenol, dan jangkung, yang juga ‘anak haram’, hasil perkosaan Meneer Belanda atas Ibu Indonesia. Mazhab Timur, yang juga ‘anak haram’ hasil perselingkuhan dengan kaum Brahman India, seperti anak kecil yang terkena penyakit busung lapar, karena Ibu Indonesia jarang memberinya makanan. Sedangkan mazhab Indonesia ‘si anak kandung’, seperti anak kecil yang jarang dibelikan baju baru, uncivilized, terpinggirkan dan hanya boleh berteman dengan petani-petani miskin, kakek-kakek yang bau tanah, atau suku-suku primitif. Semua anak-anak kecil yang berbeda karakter dan kondisi ini sering bertengkar satu sama lain. Tapi yang dimenangkan Ibu Indonesia tentu saja selalu mazhab Barat. Karena selalu dimenangkan, mazhab Barat makin over-acting. Ia menyerobot makanan anak-anak lainnya. Ia merampas pakaian anak-anak lainnya. Ia menyerupai anak raksasa agresif, yang jika Ibu Indonesia tidak hati-hati, akan dibunuhnya pula di kemudian hari. Dan nampaknya, Ibu Indonesia memang tidak berdaya, hopeless, hanya membiarkan dirinya dikuasai mazhab Barat.
Itulah perumpamaan sederhana kondisi Filsafat di Indonesia sekarang ini, dimana mazhab Barat mendominasi, sedangkan mazhab aslinya sendiri sudah terasing dan diasingkan oleh tanah-airnya sendiri. Mazhab aslinya hanya diangkat ke permukaan sebagai ‘suaka budaya’, yang dipertontonkan hanya pada saat kita mau menyombongkan diri di depan turis-turis asing bahwa Indonesia toh juga berfilsafat. Memang interaksi budaya takkan terhindari dalam pergaulan budaya global, tapi jika salah satu budaya memonopoli dan budaya itu ternyata pendatang yang asing pula, maka yang terjadi bukan interaksi tapi kolonisasi.
Secara kasat-mata, gejala-gejala kolonisasi budaya nampak pada remaja-remaja sekarang, misalnya dari etnik Jawa, yang jika ditanya ‘apa itu condro?’ atau ‘apa itu wirasat?’, mereka menggeleng-gelengkan kepala. Mereka lebih tahu Vivid Interactive daripada Serat Centhini, lebih tahu MTV daripada lakon-lakon wayang kulit, lebih tahu berbikini daripada berkebaya, lebih tahu serial TV Friends daripada Babad Tanah Jawi, lebih tahu sejarah presiden AS daripada sejarah Erlangga, lebih tahu bahasa Inggris daripada bahasa Jawa, lebih tahu English Alphabets daripada Hanacaraka. Mereka tidak paham apa ‘Filsafat Injak Telur’ pada prosesi pernikahan Jawa, apalagi ‘Filsafat Manunggaling Kawulo-Gusti’. Mereka terputus, tercerabut, terlepas dari masa lalunya sendiri, tak tahu asal keberadaannya sendiri.
Otak-otak mereka lebih banyak berisi pengetahuan tentang bersenang-senang ala Barat, cara menjalani hidup ala Barat, cara bergaul ala Barat, cara memainkan musik Barat, cara berekonomi ala Barat, cara menjadi cantik ala Barat, atau cara memanfaatkan teknologi Barat daripada tentang cara menempuh hidup menurut budaya nenek-moyangnya sendiri, cara bergaul menurut tradisi aslinya sendiri, cara memanfaatkan alam menurut struktur filsafatnya sendiri. Segala saluran pengetahuan, seperti TV, film, iklan, radio, internet, perpustakaan, universitas, dan lain-lain sangat mendukung brain-wash yang amat disengaja ini. ‘Globalisasi’—nama lain dari ‘westernisasi’—yang sangat direka rapi ini. Filosof Indonesia dari mazhab Barat kini sedang tepuk tangan dan berpesta-pora, menikmati kemenangan program ‘peng-adab-an’, program ‘modernisasi’, program ‘pembangunan’ yang sudah mereka jalankan sejak awal abad 19 dengan dukungan penuh dari Gereja Reformasi dan Pemerintah kolonial Belanda. Mereka lebih bahagia lagi saat mereka tahu Susilo-Kalla juga pro-globalisasi. Mereka sudah tidak perduli lagi dengan Filsafat Indonesia, sebab memang mereka sudah tidak tahu ‘asal-mula’. Mereka cuma ‘anak haram’ yang tidak perlu meminta kejelasan asal-usul, karena itu memalukan. Kelahiran mereka disebabkan penjajahan bangsa asing atas bangsa Indonesia. Kelahiran mereka adalah kelahiran yang terkutuk, karenanya sengaja mereka lupakan.
Apakah mazhab Barat sungguh-sungguh telah berhasil dalam 2 abad ini membawa Indonesia ke dalam kondisi modern, yang secara kapitalistik makmur, yang secara filosofis rasional, yang bermoral penuh disiplin, yang secara akademik sekuler, yang secara administratif efisien dan tidak korup, yang secara politik egaliter dan demokratis, yang semuanya berkembang menurut standar blue-print dan skema perkembangan historis ala Barat, sebagaimana ia selalu janjikan? Tentu saja tidak seluruhnya berhasil. Krisis moneter yang terjadi sejak 1997, misalnya, adalah salah satu dari beratur-ratus buah pahit strategi pembangunan ala Barat. Proyek ambisius raksasa dari ‘modernisasi Soehartoistik’ jatuh berkeping-keping, walaupun keping-kepingnya yang tercecer sedang diperbarui bentuknya oleh Habibie, Wahid, Mega, dan Susilo. Mazhab Barat kini mulai memasuki jaman aus-nya.
Mengapa ‘modernisasi westernistik’ tidak berhasil, dan tidak akan sepenuhnya berhasil di Indonesia? Mengapa ‘hamburger Amerika’ tidak berhasil dicangkokkan pada ‘singkong Indonesia’? Untuk menjawab ini, saya meminjam kata-kata orang Barat sendiri, yang amat tahu rahasia peradabannya sendiri, yang amat paham struktur budayanya sendiri. Arnold Toynbee dalam karyanya The World and The West (1952) menyatakan bahwa apa yang disebut ‘Barat’ (The West) atau ‘Jalan Hidup Barat’ (The Western way of life) ialah…an indivisible whole in which all the parts hang together and are interdependent’ (hal.26). Teknologi Barat, persenjataan Barat, lembaga-lembaga sosial-politik Barat, filsafat Barat, sains Barat, seni Barat, moralitas Barat, dan agama Barat adalah indivisible whole. Semua itu lahir dari sejarah alamiah ‘Barat’ itu sendiri. Filsafat Komunisme, misalnya, lahir secara alamiah di Barat, karena Gereja Barat gagal merevitalisasi kembali prinsip-prinsip Kristiani dalam kehidupan sosial dan ekonomi dari masyarakat Kristiani Barat (hal. 13-14). Ide ‘nasionalisme’ dan ide nation-state lahir secara alamiah di Barat, karena kondisi Perang Dunia II memaksa komunitas Barat untuk mengalami perpecahan internal sehingga pecah ke dalam sekitar 40 negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat (hal. 30). Menurut Toynbee, bukan cuma ‘Barat’ yang merupakan indivisible whole, tapi semua peradaban yang ada di dunia adalah juga indivisible whole. Jadi, budaya Indonesia juga suatu indivisible whole. Jika ‘Barat’ dicangkok oleh Indonesia, maka peradaban Indonesia akan pecah, tidak lagi suatu indivisible whole.
Toynbee juga menyayangkan fakta mengapa orang Rusia, Islam, India, dan orang Timur-Jauh (Jepang) secara naif berupaya mencangkokkan produk budaya yang lahir dari sejarah alamiah Barat ke dalam struktur budaya mereka, padahal belum tentu produk Barat itu bisa dicangkokkan ke struktur budaya lain yang berjalan menurut sejarah alamiahnya sendiri. Yang lebih konyol lagi menurut Toynbee ialah jika pencangkokan mereka itu dilakukan secara setengah-setengah, adaptasionistik, tidak totaliter, ‘…to take just the minimum dose of Western culture that was calculated to keep…alive; and this grudging spirit caused one instalment of Westernizing reforms…after another to miscarry…’ (hal.25). Yang juga amat konyol ialah jika ternyata ‘modernisasi westernistik’ itu malah membawa mundur suatu peradaban yang dulunya telah maju. Orang Islam di masa Mustafa Kemal di Turki berhasil mengadopsi sistem pemerintahan parlementer-konstitusional dari Filsafat Pencerahan Barat, dan itu terbukti berguna untuk menggantikan sistem pemerintahan Islam yang absolutistik (hal. 29). Tapi, ketika orang Islam mengadopsi Nasionalisme Barat, itu menjadi malapetaka dan kemunduran filosofis, karena Filsafat Islam justru mengajarkan bahwa semua Muslim bersaudara, yang tak mengenal perbedaan ras, bahasa, dan habitat (hal. 30).
Apa yang akan terjadi jika indivisible whole Indonesia pecah, karena kemasukan elemen Barat yang ditularkan terlepas dari miliu dan sejarah alamiahnya sendiri? Toynbee mengibaratkan elemen Barat yang terlepas dari sejarah alamiahnya dan ditularkan ke dalam struktur budaya asing sebagai particle (analogi dari fisika), bacillus (analogi dari ilmu medis), atau strand (analogi dari prisma). Kata Toynbee: ‘In escaping from its original setting, the liberated particle, bacillus, or culture-strand will not have changed its nature; but the same nature will produce a deadly effect, instead of a harmless one, now that the creature has broken loose from its original associations. In these circumstances, ‘one man’s meat’ can become ‘another man’s poison’ (hal.70). Maka, wajarlah jika kita dapati anak-anak kita sekarang memiliki identitas keindonesiaan yang samar-samar, blur. Kulitnya sawo-matang, tapi setiap hari ia menggunakan produk pemutih wajah Ponds dan Oil of Ulan. Cuaca di tempat tinggalnya panas, tapi setiap hari ia memakai jeans, sweater, jacket, dan tuxedo. Ketika cuaca di tempat tinggalnya berubah dingin karena selalu dituruni hujan, ia malah memakai bikini dan tank-top. Produk pertaniannya padi, tapi setiap hari ia memakan Big Mac. Di daerahnya banyak tanah yang subur untuk pertanian, tapi ia pergi ke sekolah belajar tentang teknologi NASA. Di bukunya ada Punakawan, tapi ia malah membaca Harry Potter. Di daerahnya ada pertunjukan wayang, tapi ia malah menonton pertunjukan Orchestra. Di daerahnya ada Dessy Ratnasari, tapi ia malah mengidolakan Sandra Bullock. Di leluhurnya ada Manunggaling Kawulo-Gusti, tapi ia malah belajar Enlightenment Philosophy. Di agamanya ada Mula jadi na bolon, tapi ia malah menganut ajaran romo-romo Katolik, Luther dan Calvin. Western man’s meat had been becoming another Indonesian man’s poison. Kuman sudah mulai merusak jiwa-raga Indonesia, tapi sebelum ia berhasil merusak semuanya, pasti muncul resistansi.
Wujud-Wujud Resistansi
Resistansi terhadap Mazhab Barat sudah dimulai oleh Ki Hajar Dewantara, 7 dasawarsa yang lalu, ketika beliau berpolemik dengan kelompok budayawan Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan lain-lain, yang dikenal dalam sejarah sastra sebagai Polemik Kebudayaan 1935. Polemik ini dimulai oleh Sutan Takdir, yang mengritik sistem pendidikan ‘Taman Siswa’ yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai melestarikan ‘Filsafat Indonesia Kuno’ yang feudalistik dan tidak terbuka pada ‘Filsafat Barat Modern’ yang lebih dinamis. Ki Hajar menjawab kritikan tersebut dengan kritikan-balik bahwa sistem pendidikan Belanda di Indonesia justru merupakan sistem yang represif, karena menekan kecenderungan alamiah anak-anak pribumi untuk memuaskan rasa ingin tahu dan berkreasi. Sistem pendidikan Barat yang ada di Indonesia, menurut Ki Hajar, terlalu menekankan kedisiplinan yang justru melahirkan dua sikap yang sama jeleknya: sikap tunduk atau sikap membangkang terhadap tradisi lokal, tradisi yang selama ini ‘membesarkannya’ sejak kecil. Pendidikan Barat di Indonesia, tulis Ki Hajar, didasarkan pada ‘regering, tucht, orde’ (perintah, disiplin, keteraturan). Sedangkan ‘sistem pendidikan Indonesia-asli’ yang ia kembangkan justru menekankan kebebasan, dalam artian, memberikan pengajaran hanya sebatas bimbingan (sistem among) dan selanjutnya membiarkan si anak mengembangkannya sendiri.
Ki Hajar tinggal lama di Belanda dan mengkonsumsi sejak lama ‘keju Belanda’ selama ia tinggal di sana. Di darahnya telah mengalir lemak-lemak dari keju itu dan telah menyatu dengan seluruh metabolisme tubuhnya hingga ia wafat. Tapi otak dan hatinya tetap otak dan hati Indonesia, buatan asli sel telur dan sperma sejoli Indonesia. Sedangkan Sutan Takdir hanya beberapa kali ke negeri Eropa dan tidak sempat tinggal seperti lamanya Ki Hajar di Belanda, tapi otak dan hatinya sudah diracuni ‘beer’ dan ‘whisky’ Barat, sehingga kesadarannya yang tertinggal hanyalah kesadaran Barat, sementara kesadaran Indonesianya telah lama terjangkit amnesia.
‘Ingat the axis of history! Ingat die Achsenzeit! Ingat zaman poros sejarah!’ teriak Sutan Takdir dengan lantangnya. Di zaman itu, kata Takdir, lahirlah 4 peradaban besar yang hampir bersamaan. Di zaman itu, yakni di abad 5 S.M., lahirlah di Cina Konfusius, Moti, dan Laotze, lahirlah di India para pengarang Upanishad, Mahavira, dan Buddha, lahirlah di Timur-Tengah nabi-nabi Yahudi yang membangun pertamakalinya monoteisme Semitik, lahirlah di daerah Mediterrania filosof Yunani seperti Heraklitos, Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Bagaimana dengan Indonesia? Pada era itu, jelas Takdir, orang Indonesia sedang asyiknya mengarungi lautan, mencari pulau-pulau baru yang bisa dihuni. Mereka tidak ‘sempat’ berfilsafat. Mereka baru mulai berfilsafat ketika 4 peradaban besar telah matang. Mereka tinggal ‘menuai’ apa yang filosof-filosof dunia pikirkan, lalu membuat sintesa menakjubkan, yang tentunya berlainan dengan ide asli sebelumnya. Maka, berdirilah bangunan Borobudur—sebuah karya arsitektural sintetis dari beberapa peradaban besar dunia, yang bukan merupakan bangunan Buddhistik, juga bukan Hinduistik.
Apakah dengan sintesa, peradaban Indonesia menjadi besar, sebesar 4 peradaban dunia itu? Takdir malu-malu menjawab, lalu bisiknya ‘Tidak. Jika peradaban Indonesia besar, mengapa ia kalah menghadapi perang melawan pasukan Belanda—suatu negeri Eropa yang paling miskin dan paling goblok?’ Jika peradaban Indonesia sungguh-sungguh hebat, sebagaimana dibela Ki Hajar, mengapa ia kalah dalam perang melawan kolonial kere semacam Belanda? Itu membuktikan sendiri, bahwa peradaban kita belum maju. Lalu, bagaimana biar Indonesia maju? Takdir menjawab dengan segera, ‘Ikuti saja ‘budaya progresif’ negara-negara Barat itu!’ Modernisasi adalah kata-kuncinya! Going West adalah solusinya!
Ki Hajar segera terhenyak dan sadar, bahwa dunia di sekitarnya telah berubah. Kraton telah digenggam Belanda, lembaga sosial-politik tradisional telah disulap menjadi lembaga kolonial modern, agama-agama asli Indonesia telah dikutuk habis-habisan oleh Gereja Reformasi, lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan tradisional yang mirip sistem gurukula di India juga telah ditinggalkan dan digantikan oleh sekolah-sekolah Belanda modern, bahasa-bahasa asli Indonesia tidak lagi diajar dan digantikan bahasa Belanda, dan kelompok elit Kraton telah digantikan perannya oleh kelompok elit baru hasil didikan sekolah-sekolah Belanda itu. Sutan Takdir adalah salah satu murid sekolah itu. Mengabaikan realitas adalah tindakan sia-sia, jika bukan tindakan gila, pikir Ki Hajar. Maka, ia stop berpolemik dalam polemik yang tidak mungkin dimenangkannya. Yang masih diteruskan adalah ‘perlawanan dalam diam’, melestarikan tradisi Indonesia asli di ‘Perguruan Taman Siswa’, walaupun dengan itupun ia harus menghadapi tuduhan Belanda mendirikan ‘sekolah liar’.
Posisi ofensif Ki Hajar pun tidak menguntungkan. Dia salah seorang anak Kraton. Kritik apapun yang ia pukulkan kepada Filsafat Barat gampang sekali dicurigai sebagai pembelaan terhadap etnis Jawanya yang kental. Ia gampang dicurigai melakukan semua kritik itu untuk merestorasi ‘Kosmos Jawa’ yang mulai menjadi chaos sejak Belanda menguasai Jawa. Sebelum dia pun sudah banyak orang Jawa yang hendak merestorasi kewibawaan Kraton, salah satunya yang paling terkenal ialah Diponegoro. ‘Perang Jawa’ yang dipimpinnya sungguh nampak sebagai perang antara orang Jawa dengan Belanda, bukan antara orang Indonesia dengan Belanda. Istilah ‘Perang Jawa’ sendiri mengkonfirmasinya.
0 komentar:
Posting Komentar