Agus S. Malma
Dalam salah satu kesempatan pertemuan Serikat Guru Kuba sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, Pemimpin Revolusi Amerika Latin, Fidel Castro menyampaikan ungkapan yang bagi kita di Indonesia hari ini bisa menjadi rujukan klasik. Ungkapan yang dikutip Franz Fanon dalam satu artikel yang terkumpul dalam buku “TheWretched Earth” itu, Franz Fanon –tokoh Revolusi Kemerdekaan Afrika—Fidel mendiskripsikan élan vital revolusi sebagai ‘an extraordinary education process’, revolusi adalah proses pendidikan di luar kelaziman.
Antara Wretched Earth (Bumi yang Kerontang) yang dalam bingkai perjuangan kemerdekaan Afrika melawan imperialis-kolonialis Prancis merupakan final material consciousness atas kondisi tanah air Afrika yang terhisap sampai miskin dan ‘an extra ordinary education process’, kita di Indonesia hari ini menemukan satu tanya: apa pelajaran yang bisa kita ambil dari periode pembangunan (developmentalism) dengan tinggalan berupa hutang-hutang –ekonomi politik: sejarah—yang hampir bisa dikatakan nyaris tak terbayar?
Sejarah. Bidang sejarah apakah yang bisa memberi kita pelajaran? Masa lalu? Tokoh-tokoh? Kepala negara? Atau penulis sejarah itu sendiri? Apa yang telah kita bayar, sebagai bangsa, untuk sebuah periode bernama Pembangunan? Adakah oleh-oleh yang kiranya berguna untuk ini bangsa dari semua yang telah kita bayar-keluar-kan? Baik itu bernama kemajuan, kesejahteraan, kemerdekaan, harga diri, martabat? Apakah benar bahwa ladang pasir yang selama puluhan tahun tampak dalam kaca mata teori dan praksis politik pemalsuan sebagai pohon kemakmuran sejenis swasembada masih memberi kita kesempatan mengingat-menyadari apakah yang sebenarnya pernah, sedang, atau bahkan akan terjadi?
Belajar dari luka dalam di jantung kemanusiaan masyarakat-bangsa Indonesia sebagaimana tergulung dari kontrarevolusi 1965 yang memungkinkan kita memilih tidak mempercayai mata telinga di kita punya badan saking ngerinya itu peristiwa dan mata rantai exploitation de l’home par l’home yang susul menyusul di seantero negeri sebagai operasi penggusuran, pemerasan rasa, penculikan, pengusiran, penistaan anak-anak dan sumbu sejarah bernama ibu, mungkinkah kita punya kesiapan mental untuk melihat wajah kita sebagai masa depan? Mungkinkah kita dapat mengingat –menyadari secara jujur—tahun-tahun sia-sianya harapan, rendahnya cita-cita di tengah sebuah rezim yang mengajarkan bahwa kematian tanpa nama dan atau kuburan tanpa nisan bukanlah berita karena terlanjur dibiasakan sebagai resiko propaganda stabilitas? Mungkinkah kita berkaca tanpa membelah cermin melihat wajah diri individual dan naluri kolektif kita yang –di tengah pemakuan identitas sebagai masyaratakat paling bertuhan di antara bangsa-bangsa di seluruh dunia berdasar legitimasi Pancasila— meng-agamakan perdagangan dan memperdagangkan agama tanpa sedikitpun pengakuan atas dimestikannya manusia untuk bekerja?
Buruh Indonesia hanya mendapat uang makan, belum gaji. Begitu juga petani. Sehari penuh mereka bekerja. Dalam musim tertentu, para petani malah bekerja dan harus bermalam di ladang. Lalu, kalau modal asing itu masih bisa dipercaya sebagai benih dari sebuah kemakmuran negara dunia ketiga, apakah benih itu sudah menjadi pohon? Apakah pohon itu akan berbuah? Hitungan terakhir sejak badai moneter sepuluh tahun lalu, naga-naganya pohon itu kok hanya mendaun-rimbunkan bunga (utang). Padahal pohon itu bisa jadi lebih besar dari luas pulau-pulau yang termasuk wilayah kita punya negara dengan akar yang membelit bahkan sanggup menjebol kita punya tanah yang berisi harum darah pejuang revolusi kemerdekaan serta wangi keringat buruh tani dan juga tawa gembira anak-anak dan cinta para remaja atau kasih orang-orang tua.
Pengangguran atau kalaupun kerja, rata-rata rakyat Indonesia bekerja dengan kondisi yang jauh dari layak sehingga pada hitungan ekonomi teoritik berlangsung apa yang bisa disebut sebagai unvaluabled values (of work) dan menggelar barisan panjang kaum subsisten walaupun dalam ukuran ekonomi modern mereka adalah kelas pekerja tetap dengan pabrik yang megah dan produk serta merek gagah nan gemerlap. Secara matematik, kondisi masyarakat Indonesia berada atau terjebak di tengah micro economics disequlibrium dengan timpaan macro politics disorientation. Ketidakseimbangan mikro terjadi karena terdapat masalah besar bernama kegagalan negara yang merasuk kedalam individual realm, bobroknya negara yang menghantam keberadaan bangsa: barangkali tahun-tahun belakangan merupakan fase crucial-existencial crises paling gawat yang pernah dilewati bangsa Indonesia.
Pada garis ekonomi politik Marxian, micro disequlibrium di maksud terjadi ketika massa-rakyat Indonesia terjatuh dari dua belah kegagalan bernama sosialisme dan kapitalisme. Parahnya, dua kegagalan itu “diterima” massa-rakyat Indonesia sebagai resiko terakhir dari ekonomi politik cangkok yang dilangsungkan melalui proses mekanistik di luar ambang kesadaran otonom mereka. Sementara kebijakan depolitisasi-deideologisasi yang membuat massa-rakyat Indonesia, bahkan mereka yang berasal dari lapis terdidik, tidak diperkenankan mengenal logika sejarah bernama ideology yang dalam kamus filsafat modern disebut kapitalisme/sosialisme atau yang lain dan bahkan juga dibelokkan arah kesadarannya tentang agama serta budaya bangsanya, hari ini kita harus turut serta mengatasi dilemma ekonomi global yang dalam referensi Marxian standar disebut sebagai internal contradiction of capitalism.
Wacana dan praksis atau wacana praksis dan praksis wacana ekonom di Indonesia disibukkan dengan pembicaraan tentang recovery. Salah faham terbesar para ekonom di mana krisis kapitalisme internasional diaudit dengan bacaan atas kinerja pemerintah dan bukannya pada alur akumulasi dan sirkulasi modal internasional membuat tahun-tahun sia-sia penanggulan krisis berpadu dengan false anxciety (kerinduan semu) pada “tenang”-nya hidup bersama Orde Baru, sebuah ketenangan yang sebenarnya hasil rekayasa tentram menjadi tintrim (jawa: wingit, angker), menyeret kita pada gelombang pasang new wave economy yang kalau tidak diantisipasi akan melahirkan ratusan juta pengangguran dan bulatan-bulatan kemiskinan masyarakat layaknya anak ayam mati di lumbung.
Secara paradigmatik, salah faham itu bermula dari penyederhanaan pukul-rata menyamadengankan gelembung kekayaan di beberapa negara industri utama sebagai over capital (kelebihan modal). Padahal yang terjadi secara persis adalah over nominal (kelebihan angka) sebagai resiko tak terelakkan dari ekonomi moneter yang –dalam prakteknya di Indonesia—tidak ditopang dengan fundamental ekonomi dan hanya mengandalkan “surat sakti” di mana dunia bank berkembang dalam alur yang terbalik dengan kelayakan logisnya. Regulasi perbankan dekade ‘80-an melawan hukum ekonomi dari buku apapun karena bank-bank itu mematok capital equity tidak berdasar asset yang mereka miliki dan hanya bersandar pada rencana yang “dipastikan” dengan surat-surat sakti itu. Secara global, Indonesia sejak saat itu merupakan lubang hitam ekonomi global yang menghisap semua yang bernama uang dari luar negeri dan menanggungkan tumpukan utang.
Kenapa disebut lubang hitam? Karena (pemerintah) Indonesia Orde Baru gagal atau memang tidak bermaksud mengisi ruang hampa antara bantuan luar negeri dengan Kerja yang disediakan bagi seluas-luasnya masyarakat. Barangkali, para petinggi serta arsitek ekonomi Orba menganggap cukup dengan hipotesis “tenang sajalah. Biar masyarakat bekerja di sawah di kampung masing-masing” dan tidak menyediakan sedikitpun pertimbangan bahwa kebijakan ekonomi moneter mereka dapat menghantam langsung bulir-bulir padi di sawah ladang Indonesia sebagai resonansi dari tren memihaknya beberapa negara yang secara internasional dikategorikan sebagai negara industri pada sektor pertanian seperti yang terjadi di Jepang dan kemudian sambung menyambung dengan menurunnya kualitas serta kuantitas petani sebagai bagian massa-pekerja maupun komoditas pertanian yang bisa menjamin peri hidup anak bangsa.
Dengan pendekatan sistemik alias bacaan struktural, hipotesa yang bisa dikemukakan dari uraian di atas adalah berlangsungnya gejala masyarakat yang –sadar tidak sadar—menghimpun serta mengelola dirinya sendiri dan negara yang tidak kenal wilayah pribadinya. Pintu dan jalan, hukum dan keteraturan, dilanggar justru oleh mereka yang memegang perkakas pertukangan membuat pintu mengeraskan jalan. Pada akhirnya, problem kebangsaan-kenegaraan Indonesia melampaui pembatasan keinginan dan membubung atau jatuh pada keniscayaan menjawab problem kemanusian dalam artinya yang paling mendasar: maju atau mundur dalam sejarah. Tentang dari mana mau kemana serta sedang ada di mana ini bangsa sebenarnya? Masihkah harapan kita aman di tengah labirin himpitan yang menyariskan deretan cita-cita Proklamasi tersudut di tepian luar lamunan yang menarik-narik kita semua pada situasi extreme impossibility? Sebentuk ekstrimitas kelas Juggernaut van Gidden yang beberapa waktu terakhir melemparkan kesadaran masyarakat-bangsa kita pada impian kebangkitan yang terlalu panjang untuk tidur zuur to macht kita yang baru sebentar atau mungkin baru terkantuk-kantuk.
Garis ideology pergerakan social di Indonesia mengajarkan kepada kita bahwa ada faktor-faktor non subyektif yang melahirkan kondisi mutakhir seperti diilustrasikan di muka. Highest intension of oppression yang dialami bangsa-masyarakat Indonesia –sejak dijajah oleh bangsa asing, dikhianati bangsa sendiri, sampai ditikam keterasingan yang menimpa baik bangsa sendiri atau bangsa asing—menjatuhkan kita semua di kubangan lumpur penghisapan-penindasan yang –maaf seribu maaf—menjadikan kita layaknya anak kecil yang menghisap dot karena sang pertiwi belum pulih benar dari apa yang digambarkan Franz Fanon dengan kekerontangan atau –kalaupun sudah pulih—ada banyak prasyarat sopan santun yang telah lama tidak kita patuhi sebagai anak-anak pertiwi sehingga –seperti yang pernah terjadi di masa lalu—pertiwi lebih memilih memberikan susunya kepada mereka yang mungkin tidak lahir dan menjadi dewasa di Indonesia tetapi punya keahlian rasional dan kemampuan nurani untuk mengurus pertiwi punya wilayah.
Dulu, ketika bangsa-bangsa di Indonesia belum berhadapan dengan same human condition seperti sekarang kita masih bisa meniscayakan kemungkinan bahwa someday they will come dan mengajarkan kepada kita bagaimana mengelola kekayaan –potensial maupun aktual, yang dimiliki ini bangsa. Tapi sekarang? Semua bangsa di semua negara sedang menghadapi keharusan yang sama: bagaimana keadilan dapat dirasakan semua orang, bagaimana kemerdekaan
Trickle down effect tidak meneteskan kesejahteraan bagi massa-rakyat di negara dunia ketiga tetapi malah menetes di negara-negara perantara seperti Singapura dan juga perusahaan-perusahan multinational di sektor jasa, para pekerja –produsen kalah kaya dibanding makelar. Politik juga begitu.
Kepala Departemen Pertahanan dan Kebudayaan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), tinggal di Banten.
0 komentar:
Posting Komentar