Minggu, 26 Juni 2011

REFLEKSI HARI KEBANGKITAN NASIONAL 20 MEI 1908-2009

Perjuangan melawan penindasan adalah perjuangan pelawan lupa…(Milan kundera)

Pasca diterapkan cultur stetsel dinegeri hindia belanda mulai sejak 1830 dan sampai memasuki awal 1900, banyak ditentang oleh kaum democrat di belanda yang menilai bahwa kontribusi masyarakat hindia belanda kepada pemerintah belanda sudah berlebihan, sedangkan input dari sekian
kerja mereka (kerja paksa) hanya sebatas kesengsaraan. Oleh karena itu sudah saatnya perlu untuk melakukan balas budi dalam pengertioan pemerintah belanda memberikan kontribusi positif bagi kaum pribumi hindia belanda. Hal tersebut di kemukakan dalam sebuah novel yaitu Max Havelar, yang di tulis oleh Van Deventer juga berasal dari kaum democrat belanda dan jalankan oleh pemerintah kerajaan belanda (ratu wihelmina) pada tahun 1900. Namun hal ini tidak terlepas dari kepentingan para pemodal belanda yang membutuhkan tenaga kerja murah di hindia belanda. Akhirnya system itu diberlakukan dengan 3 pointer utama yaitu: education, irigasi, dan emiograsi. Pendidikan dijadikan upaya stategis menciptakan buruh murah sebagai penopang indurtrialisai di Indonesia. Namun niatan busuk pemerintah belanda mampu dibaca oleh beberapa kaum intelektual pribumi dan keresahan itu terus bergulir seperti bola salju yang terus membengkak. Sehingga keresahan beberapa kaum intelektual terhadap kondisi empiris masyarakat hindia belanda menjadikan mereka sebagai anak haram dari politik etis dan menggagas perlawanan terhadap penindasan tersebut.

Pada 101 tahun yang lalu, tepatnya 20 mei 1908, lahir sebuah organisasi modern dari kalangan “kaum pribumi” yaitu “Boedi oetomo” yang kemudian dimaknai sebagai langkah awal atau starting point dari perjuangan nasional. Perjuangan kaum intelektual melawan penjajah dengan senjata organisasi tidak cukup kita maknai hanya semata-mata muncul karna proses penindasan yang tengah berlangsung waktu itu, namun perlu dibaca adalah pola perjuangannya sebagai bentuk refleksi sadar atas kegagalan-kegagalan pola perjuangan “bersenjata bedil, pedang, clurit, Mandau, parang, dll” yang pernah di jalankan ditahun-tahun sebelumnya. Namun lebih dari itu, Munculnya organisasi modern sebagai alat perlawanan bangsa cukup mampu untuk melahirkan kesadaran massa atas ketertindasan (syarat utama perubahan) dan kekuatan kesadaran massa mampu meluluh-lantahkan kekuatan penjajah. Hal ini terbukti dengan munuculnya organiasi-organisasi modern sebagai gerbong perjuangan dalam berbagai bentuk dan pandangan masing-masing. Misalnya seperti Sarekat islam, Indisice partai, dan lain sebagainya. sehingga organisasai sebagai alat perjuangan sudah membudaya dikalangan kaum intelektual dan kaum pribumi kala itu. Pada 28 oktober 1928, berkumpul seluruh elemen pemuda dari penjuru nusantara(hindia belanda) untuk dan berkomitmen untuk mewujudkan wadah sebuah wdah besar untuk mengakomodasi kepentingan bangsa indonesia dan hal tersebut terwujud pada 17 agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia dengan terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, perjuangan kaum intelektual untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tugas mereka sebagai manusia yang sadar atas realitas Negara. Peristiwa 21 mei 1998 juga merupakan sebuah gebrakan kaum intelektual dalam menumbangkan rezim otoriter adalah bukti bahwa kesadaran kaum intelektulah merupakan sumbu kebangkitan kesadaran massa.
Namun pasca reformasi 1998, semangat itu mulai kendor dan budaya kritis kaum intelektual semakin terkikis dengan aksi-aksi hedonism yang terus memangkas daya kritis kaum intelektual terhadap realita social baik itu dimasyarakat maupun kampus. beberapa tahun terakhir, organisasi mahasiswa baik internal, mapun external kampus mengalami degradasi yang signifikan dalam konteks kuantitas kader. Ini dikarenakan perubahan paradigm mahasiswa yang hedon dan sangat apatis. Sehingga orientasi aktivitas sampai alokasi waktu hanya semata-mata kepuasan nafsu. Kesadaran kaum intelektual yang hari ini tergerus oleh arus zaman perlu direfleksikan kembali sebagai upaya untuk menjawab stagnasi organisasi-organisasi mahasiswa dan merumuskan kembali “strategi dan taktik” untuk mewujudkan semangat baru dalam upaya mengembalikan kesadaran kaum intelektual dalam “peran dan fungsi” sebagai agen of changes.

0 komentar:

Posting Komentar