Selasa, 19 Oktober 2010

Pendakian Merapi

Konon di puncak-puncak sana
Di kemegahan merbabu merapi
Pada Keangkuhan Sindoro Sumbing
Bersemayam dewi-dewi cinta dan keindahan
Yang auranya mampu menarik ribuan orang
tuk mengulurkan tangan
Menapakan kaki,
menembus selaksa kesulitan
Bersua dengan sang dewi keindahan
Yang kan membawa terbang menuju Alam keabadian
Menyatu dengan Sang Maha Abadi


Tepat tengah malam, kala purnama mulai condong ke barat, pendakian Merapi telah separuh jalan aku lalui. Di belakang dan di depanku ribuan pendaki merayap laksana barisan obor yang terus bergerak, bergelombang meniti satu demi satu bebatuan gunung dan menembus remang malam. Moment 17 Agustus memang merupakan pesta pendaki di puncak Merapi, yaitu ketika pagi hari saat detik-detik proklamasi, maka para pendaki pun melakukan upacara ala pendaki di daerah Pasar Bubrah, yaitu daerah landai dan datar sebelum memasuki puncak Garuda, puncak tertinggi Merapi. Apalagi pasa saat ini, akan dikibarkan seribu bendera di sepanjang pasar bubrah dan puncak Garuda.
Menjelang waktu subuh, aku dan rombongan telah menginjakan kaki di Pasar Bubrah, dan di sana telah ada ribuan pendaki yang beristirahat menunggu pagi datang. Mereka rata-rata memilih beristirahat dan tidak berani mendaki menuju puncak, sebelum terang karena kemiringan menuju puncak mencapai hampir 90 derajat. Sambil merebahkan tubuh menghilangkan kepenatan, kulihat ribuan gemintang di atas sana dan bulan pucat menggantung di ufuk Barat. Pada saat seperti inilah manusia semuanya merasakan keagungan Tuhan, Tuhan begitu besar dan manusia begitu kerdil lagi kecil. Manusia hanyalah setitik debu di hamparan bumi, dan bumi hanya laksana sebutir pasir di luasnya padang. Kalo sudah merasa seperti ini, tidak layak manusia kemudian menjadi sombong, menegakan kepala, membusungkan dada, yang ada hanyalah tertunduk, pasrah, dan menyerah. Perasaan seperti inilah yang disebut Rudolf Otto dalam The Idea of The Holly dengan numinous, yaitu perasaan yang mengharu biru, merasakan kekerdilan manusia, pengakuan akan keagungan dan adanya Tuhan Alam semesta.
Pagi harinya, ketika matahari telah mulai menghangatkan kulit, ribuan pendaki mulai bergerak lagi mendaki puncak tertinggi Merapi. Mereka begitu bersemangat menaiki tangga-tangga batu walau dengan nyawa taruhannya, karena sekali terpeleset, maka akan jatuh disertai dengan longsornya batu-batu. Sambil terus mendaki aku berfikir, ternyata manusia itu akan semangat dan merasa hidupnya benar-benar hidup ketika menghadapi tantangan dan lawan. Hidup menjadi berarti karena ada nilai perjuangannya, tetapi hidup menjadi mati jikalau tiada perjuangan. Seperti para pendaki ini, mereka menemukan kebahagiaan luar biasa ketika mencapai puncak setelah melalui perjuangan panjang lagi melelahkan. Jadi semakin menantang suatu medan, maka semakin bahagia ketika mampu menundukannya.
Pada saat matahari telah mulai meninggi, ribuan pendaki mulai pada turun dari puncak merapi. Pada saat itulah aku melihat beberapa pendaki mulai turun ke lembah-lembah di bawah Pasar Bubrah untuk memetik bunga Adelwis, yang diyakini sebagai bunga keabadian. Bunga yang memberikan makna berarti bagi sebagian pendaki, khususnya pendaki beginer, untuk mengungkapkan keberhasilannya mendaki suatu gunung dan kabadian cinta pada kekasihnya. Bunga Sdelwis sebagai bukti keberhasilan mendaki karena bunga ini hanya tumbuh pada ketinggian tertentu, yaitu hampir atau bahkan di puncak gunung. Dan bunga ini melambangkan keabadian karena memang bunga ini tidak mudah layu, bahkan sampai bertahun-tahun pun masih kelihatan segar di pandang mata. Maka bagi para pecinta, buah tangan paling berharga dari pendakian adalah bunga Adelwis yang melambangkan keagungan dan keabadian cinta.
Namun, ada yang melarang memetik bunga edelweis karnai tu melanggar etika dan aku melanggar titah itu sebagai orang awam dibidang ini, tapi ku tetap menganggap itu sebagai lambang keabadian. . Aku menjadi ingat akan syair sufistik Abu al-Qasim Bisyr Yasin, seorang Sufi Persia yang merupakan salah satu guru Abu Sa’id Ibn Abi al-Khair, seorang sufi pula:
Cinta yang sempurna
datang dari pecinta yang tidak mengharapkan apa-apa.
Apa yang lebih diinginkan dan berharga dari pemberian?
Sementara Sang Pemberi telah menjadi milikmu.
Bagiaman engkau menginginkan pemberian, sementara engkau memiliki Batu Bertuah?


aku ternyata bukan para pecinta sejati, hanya pengumbar nafsu mendaki dan perusak bunga-bunga alam. Bagi Abu al-Qasim seorang pecinta sejati tidak mengharapkan selain yang dicintanya. Bagi seorang pecinta alam sejati, maka cukuplah alam baginya, tidur berselimutkan malam, bangun bermandikan embun cahaya, dan mengigil bersama keindahan semesta.
Maka, bagi para sufi yang mengagungkan cinta sejati pada Rabb, surga dan neraka menjadi tidak penting lagi. Ada neraka atau tiadanya surga bukan merupakan motivasi ibadah dan munajat kepada Sang Khaliq. Cukup adanya ridla dari Sang Khaliq untuk menggerakan semua aktivitas, kepatuhan dan kepasrahan kepadaNya. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan dalam rintihan syairnya:
Ya Tuhanku..
Jika ibadahku karena takut akan nerakaMu
Maka masukan aku di dalamnya
Dan jika ibadahku karena mengharap akan surgaMu
Maka hancurkan dan hilangkan surga itu


Aku terus berjalan setapak demi setapak ke bawah dengan membawa ribuan hikmah, kepuasan, dan pelajaran berharga dari belaian alam. Ternyata, alam memang merupakan guru yang terbaik. Ia mendidik manusia dengan kadar kemampuan tubuh dan fikirannya. Alam tidak akan pernah memberikan pelajaran yang manusia tidak mampu menanggulanginya. Sedasyat apapun ia menyapa manusia, maka sedasyat itu pula pelajaran yang diberikannya. Maka salahlah para pendaki yang katanya pencinta alam ternyata malah merusak alam pendakian. Rupanya mereka belum mengerti pepatah pendaki sejati:
Leave nothing but footeprint
Kill nothing but time
Put nothing but picture

0 komentar:

Posting Komentar