Sabtu, 14 Januari 2012

Saya Curiga Kampus Salah diagnosa Teman-teman




Fenomena kecil yang ku temui di dunia perkuliahan sangat menggelitik.  Sebagian besar mahasiswa awal masuk kampus mempunyai harapan adalah untuk menjadi profesional dibidangnya masing-masing. Melalui proses pengujian yang dianggap layak sehingga dapat mengikuti perkuliahan dan diterima sebagai mahasiswa di kampus tertentu. Ada banyak motif filter atau seleksi  calon mahasiswa. Yang paling terkenal sekarang adalah test komputerisasi. Mengikuti test tatap muka dengan sistem komputer ,kemudian setelah mengisi beberapa pertanyaan yang diajukan  dan pengumuman hasil test bisa langsung di ketahui atau dilihat langsung.
Terkait dengan metode penilaian automatic oleh komputer denngan kriteria baku yang sudah ditetapkan sudah dianggap cukup ampuh untuk membaca potensi mahasiswa untuk mengikuti disiplin ilmu tertentu.
Setelah proses penyeleksian selesai, mahasiswa syah secara teoritis mampu menempuh perkuliahan tersebut. Kemudian dalam beberapa kurikulum ada sistem filter tahap berikutnya seperti sistem drop out setelah menempuh 4 semester perkulaiahan. Dan berikutnya pada 7 tahun masa perkuliahan jika tidak mampu menempuh Standar IPK tertentu, dinyatakan gagal.
Itu sekilas tentang hirarki penggodokan potensi mahasiswa dikampus. Saya pribadi juga mengalami hal tersebut dan mungkin para pembaca pernah mengalami hal serupa diatas. Menurut pengalaman pribadi saya, sebagian besar mahasiswa mengalami kecelakaan akibat sistem tersebut. Dari beberapa teman yang sejurusan dengan saya, ketika ditanya “Kenapa Masuk Teknik Sipil?” jawabannya “pengen menjadi pegawai Negeri Sipil”. Ada juga jawaban lain yaitu “kemaren pengennya masuk arsitek, namun saya diterima di teknik Sipil”. Ini salah satu contoh yang kubilang sebagai sebuah kecelakaan sistem yang perlu dievaluasi. Selain itu, setelah berproses didalam dunia kampus, mahasiswa banyak terjun ke ruang-ruang organisasi kampus seperti UKM dan study Club. Pada tahapan ini, mahasiswa mengasa potensi yang terpendam dan itu diluar akademik. Seperti Pecinta Alam, Pers, Sepak Bola, dll.
Lantas pasti ada yang bertanya, salahnya dimana?
Pada pertanyaan diatas, saya mempunyai dua jawaban. Yang pertama, Kita bisa melihat dari segi kenyamanan dan motivasi. Kemudian berikutnya hasil akhir setelah Berproses. Kedua jawaban ini mempunyai hubungan erat untuk menjawab atau menjadi evaluasi sebuah sistem pendidikan.
Terkait dengan contoh kasus diatas, Hobi mahasiswa tersebut adalah Menggambar bangunan, ternyata penilaian sistem bahwa mahasiswa tersebut lebih layak diterima pada Jurusan Teknik sipil. Menurutku ini sebuah ironi dalam penilaian komputerisasi. Motivasi seorang mahasiswa menjadi faktor penentu dalam menjalani proses pendidikan. Selain itu, hobi juga menjadi salah satu faktor pendukung kesuksesan mahasiswa dalam menjalani proses pembelajaran. Ketika mahasiswa merasa tidak nyaman dan tidak mempunyai motivasi untuk mengenyam pendidikan tersebut, maka jangan berharap hasil memuaskan dari mahasiswa tersebut. Artinya bahwa dengan hasil yang minim, kemudian akan berpengaruh pada nasib mahasiswa tersebut setelah lulus nanti.
Situasi kampus hari ini, dengan mengejar standar pendidikan atau kategori tertentu, memaksa mahasiswa untuk belajar lebih keras. Mendesain sistem sedemikian rupa agar mahasiswa mampu mencapai kualitas yang diharapkan. Sebagian besar kampus diyogyakarta sudah menerapkan suatu standar khusus sebagai nilai lebih dari kampus tertentu. Penerapan sistem demi sistem memang membuahkan hasil yang signifikan, namun dalam situasi seperti ini, perlu mempertimbangkan keseriusan mahasiswa. Standar drop out tidak lebih dari sugesti untuk mempercepat proses perkuliahan. Mahasiswa dianggap punya kemampuan yang merata, namun mereka lupa bahwa Hobi dan kenyamanan juga akan mempengaruhi kualitas mahasiswa tersebut. Ini bukan sebuah kepastian, bisa dibilang sebagai hipotesis sementara berdasarkan pengamatan pribadi. Sebagian besar kawan yang mengalami kecelakaan tersebut, masih bertahan dikampus, karena belum menyelesaikan persyaratan kelulusan. Ini merupakan satu effek dari sistem komputer yang tidak mampu mendeteksi “potensi dan motivasi” mahasiswa, sehingga kuliah tersendak. Selain berpengaruh pada proses perkuliahan, juga berpengaruh pada orientasi pasca kelulusan atau produktivitas mahasiswa nantinya. Tidak jarang kita menemukan para sarjana bekerja diluar bidang akademiknya atau bahkan nganggur. Aku melihat bahwa dari segi potensi maupun motivasi, mahasiswa yang mengalami kecelakaan akibat penilaian sistem komputerisasi membunuh kreativitas dan potensi mereka.
Terlepas dari semua interpretasi diatas, yang jelas teman-teman saya belum lulus sampai hari ini. Karena lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendalami ilmu yang mereka sukai, sebagian yang memang kurang mampu dalam penyerapan.  Dengan pembatasan masa studi perkuliahan, maka menjadi bagi mahasiswa yang kurang mampu (kempampuan otak).


Saya Curiga Kampus Salah diagnosa Teman-teman
Ary Toteles


0 komentar:

Posting Komentar