Senin, 16 Januari 2012

Saya akhir-akhir ini sangat terganggu dengan pemahaman teman-teman terkait dengan “kesopanan”.  Dibeberapa tempat, saya melihat standar “kesopanan dalam berpakaian” pun berbeda-beda. Misalnya, ketika diadakan pengajian, orang lebih cendrung berpakaian busana “Muslim”. Dalam hal ini, yang dibilang sopan, adalah penyesuaian antara cara berpakaian dengan konsep nilai pada acara (pengajian) tersebut. Ketika kita datang tanpa berbusana muslim, kita akan dibilang kurang etis atau tidak sopan karena tidak menghargai acara pengajian. Artinya segi pakaian juga kemudian diselaraskan dengan konsepsi nilai acara tersebut. Hal ini bisa saja berlaku pada acara-cara selain pengajian, seperti Rapat atau meeting. Jika menghadiri meeting atau rapat-rapat penting diperkantoran kita perlu mekai busana yang sesuai dengan konteks acaranya (rapat).  Dalam budaya anak muda pun kesopanan dalam berpakaian menjadi hal penting. Bahkan gaya berpakaian sebagai sebuah identitas yang menjadi keterwakilan sebuah pemahaman terkait aktifitasnya. .Disini saya juga melihat pemahaman kesopanan dalam berpakaian adalah kesesuaian antara “konsepsi nilai Acara dengan gaya berpakaian”. Sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat indonesia secara umum. Terutama budaya masyarakat kota.
Perilaku dalam berpakaian sudah menjadi satu poros budaya baru. Bisa dibilang sebagai simbol (semiotik) identitas budaya tertentu. Corak budaya berpakaian sebagai keterwakilan satu tatanan sudah ada sejak dulu kala. Hal ini bisa kita temui khususnya diindonesia. Dari pluralitas budaya, akan kita menemukan pembeda. Status pembeda yang bisa kita lihat pada gaya berpakaian. Namun budaya lokal sangat konsisten dengan nilai yang mereka anut. Saya ambil contoh adalah orang papua, untuk menghadiri acara-acara adat (resmi), tidak terlalu bannyak kita melihat perbedaan. “koteka” sebagai pakaian adat tidak mengalami pergeseran nilai. Artinya bahwa, antara pemahaman nilai dengan acara yang dijalankan, tidak ada perubahan. Artinya kesopanan yang dimaknai dalam konteks tradisional mencerminkan sikap junjung nilai budaya yang dianut. Bukan saja masyarakat adat papua, begitu pula suku-suku lainnya yang masih menjaga kemurnian nilai budaya dan etika budaya yang dianut. Seperti dayak, batak, maluku, jawa, dan lainya. Namun ketika kita masuk pada masyarakat perkotaan, kita sulit menemukan konsistensi nilai yang dianut. Pakaian disinyalir sebagai salah satu “neraca kesopanan”, belum mewakili cara pandang yang dianut. Masih sebatas gaya hidup tanpa nilai tertentu. Dimana, budaya modern “masyarakat perkotaan” sewaktu-waktu bisa berubah seiring perkembangan zaman. Sehingga cara pandang terhadap kesopanan pun menjadi satu kebenaran yang diperoleh melalui kesepakatan. Ketidak-konsisten antara pemahaman nilai (ontology) dengan penerapan nilai melalui media Berpakaian (life style).

Kampus Islamku

Saya melihat (ketidak-konsisten antara pemahaman nilai dengan penerapan nilai) terjadi dilingkungan kampusku. dalam hal berpakaian, dikampusku mewajibkan bagi kaum pria untuk  berpakaian rapi dan sopan . disini kesopanan berpakaian yang dimaksud adalah memakai Kemeja yang berkerak, dan memakai sepatu. sedangkan perempuan mekai busana muslim yaitu jilbab dan menutup aurat. Kebetulan kampusku adalah salah satu sekola tinggi islam.
Sewaktu mengikuti proses perkuliahan, aku tanpa sengaja memakai topi dalam ruang kelas. Kemudian melihat perilakuku, dosen menegur agar membuka topi. Katanya tidak sopan memakai topi disaat mengikuti perkuliahan. Dengan kata lain, menurut pemahaman dosen tersebut, tidak boleh mekakai topi, karena tidak termasuk dalam adab menuntut ilmu. Sehingga ketika kita memakai topi saat mengikuti perkuliahan, akan dinilai tidak sopan.  Situasi seperti ini bukan terjadi sekali, dikelas yang berbeda, saya mengikuti perkuliahan dengan memakai baju kemeja namun tidak ada kerah nya. Jadi dilihat sekilas seperti kaus oblong. Saat dosen melihat, lagi-lagi dilarang, karena tidak sesuai dengan aturan kampus. Selain itu, dilain waktu, aku memakai sepatu kets merek “ALL STAR”. Waktu ke kampus, aku menginjak bagian belakang sepatu (bagian tumit). Saat masuk ruang ujian, aku diomelin oleh pengawas ujian. Setelah pikir-pikir, tidak ada yang salah dengan cara berpakaian saya.
Oklah anggap saja saya melanggar ketetapan aturan. Kebijakan kampus menetapkan cara berpakaian tersebut, menurut saya tidak konsisten dengan “keislaman”. Karena saya belum melihat manifestasi keislaman dalam segi berpakaian. Kembali pada hipotesis saya bahwa “kesopanan dalam berpakaian adalah kesesuaian antara konsepsi nilai acara dengan gaya berpakaian”. Jika kita mengacu pada cara pandang secara umum, tidak ada yang keliru pada aturan main tersebut. Lantas, yang jadi pertanyaan kemudian, korelasi antara nilai “Keislaman” ( dalam adab berpakaian disaat menuntut ilmu atau belajar) dengan kebijakan tersebut dimana? Sebagaian besar menjawab dengan enteng bawa yang terpenting itu menutup aurat. Sampai disini aku masih terima, walaupun secara umum islam tidak menitik beratkan pada motif atau type pakaian tertentu seperti kemeja atau baju berkerak. Yang jadi pertanyaan kemudian,  lalu bagaimana dengan “adab menuntut ilmu dalam islam”? apakah sudah terwakili dengan ketetapan aturan tersebut? Dalam islam, belajarpun tidak memakai alas kaki, pakaian tidak memakai kerahpun tidak masalah. Apalagi memakai topi atau sejenis kopiah. Ternyata ukuran kesopanan hanya sebatas bentuk luaran yang sifatnya aksidental. Padahal konsep kesopanan lebih luas dari pada yang dipahami oleh orang-orang kampus. Dalam pembahasan ini saya tidak sedang membahas nilai-nilai islam, namun lebih menitik beratkan pada pemaknaan terhadap kesopanan dalam berpakaian. Kesopanan dalam berpakaian yang dimaknai sangat dangkal, hanya sebatas “sepatu dan kerak baju”. Tanpa kedua hal tersebut kita diponis tidak sopan.

Sepatu, Kerak, dan Sopan.

Menurut saya, kampus sedang mereduksi nilai kesopanan atau adab berpakaian. Mereka membatasi konsepsi kesopanan hanya pada “sepatu dan Kerak baju”. Ketika kita berpakaian dilingkungan kampus Tanpa kedua hal tersebut (sepatu dan baju berkerak), akan diponis tidak sopan. Aku agak heran, dari kecil sampai hari ini, yang kupahami bahwa pakaian merupakan refresentasi dari cara pandang yang dianut. Seperti contoh sebelumnya yaitu “koteka masyarakat papua” dan dalam acara apapun mereka tidak membatasi.  Ternyata dikampusku (lebel islam)dalam aturan berpakaian, masih jauh dari nilai yang kita junjung. Dalam pemahaman yang dianut, mereka menjunjung nilai keislaman, namun pemahaman ini tidak mampu diturunkan kedalam semua aturan pendidikan. Dalam proses perkuliahan pun yang ada hanyalah “berdo’a” yang mencerminkan sikap keislaman. Selain itu, tidak ada satupun yang mewakili adab belajar yang sesuai dengan nilai keilslaman. Untuk menghadiri pengajian (proses belajar) atau ceramah, atau bahkan majelis dzikir, kita tidak dituntut untuk memakai kerak dan sepatu. Dari sini, saya melihat keterputusan antara pemahaman dan penerapan.

Satu Proses berbeda Nilai

Pesantrenisasi (Proses Belajar)



Ary Toteles

0 komentar:

Posting Komentar