Oleh Ary Toteles
Sering kita mendengar keluhan tentang orang lain tentang sifat manusia. Ketika seorang kawan, keluarga atau sahabat yang mengeluh tentang sifat buruk seseorang, misalnya “Si A itu memang sifatnya begitu, sulit dibilang. MEMANG DARI SANANYA SUDAH BEGITU”. Atau contoh lain, “Si B itu karakternya sudah begitu, DARI SANANYA SUDAH BEGITU”.
Sering kita mendengar keluhan tentang orang lain tentang sifat manusia. Ketika seorang kawan, keluarga atau sahabat yang mengeluh tentang sifat buruk seseorang, misalnya “Si A itu memang sifatnya begitu, sulit dibilang. MEMANG DARI SANANYA SUDAH BEGITU”. Atau contoh lain, “Si B itu karakternya sudah begitu, DARI SANANYA SUDAH BEGITU”.
Kalimat “dari sana sudah begitu” jika dilihat sepintas tidak punya masalah. Ketika mendengar kalimat tersebut, pikiranku langsung konekt dengan asal usul subyek tersebut. Mungkin bagi sebagian orang hal ini adalah masalah kecil, namun bagi saya pernyataan ini sangat mengganggu pikiran saya. pada dasarnya kalimat “dari sana sudah begitu” merupakan pernyataan tentang sifat seseorang yang dinisbahkan kepada “asal-muasal” manusia tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah Apa maksud kalimat itu? Apakah kata dari sana sudah begitu merupakan sebuah sifat mutlak saat penciptaan manusia tersebut? Atau sifat turunan bawaan orang tua? Kedua pertanyaan ini merupakan persoalan epistemology. Ketika kerancuan dalam memahami epistemology ini maka akan berdampak pada cara pandang kita terhadap “si manusia pemilik sifat – sifat buruk tersebut”. Pertama, ketika memahami sifat tersebut merupakan bawaan lahir, maka konsekuensi logisnya adalah menganggap bhwa sifat tersebut mutlak tidak bias dirubah. Kedua, ketika memaklumi sifat tersebut adalah bawaan orang tua, maka sifat tersebut sudah menjadi tabiat yang tidak dapat dirubah.
Sifat Fitrah dan Sifat Bentukan
Sifat Fitrah
Manusia mempunyai fitrah atau sifat bawaan lahir yang sama. Setiap manuisa yang berakal dan hati, memiliki potensi untuk “berubah” entah itu kearah baik maupun buruk. Secara epistemology, manusia mempunyai sifat yang sama yaitu sifat bawaan lahir yang suci.
Luwais Ma`luf dalam kitabnya al-Munjid mengemukakan bahwa fithrat adalah:[[1]]
"sifat yang dimiliki oleh setiap mawjud (ciptaan) pada awal penciptaannya”. Jadi, fitrah manusia berarti sifat atau keadaan manusia ketika ia dilahirkan ibunya. Ibn al-Atsir dalam kitab al-Nihayat, seperti dikutip Muthahhari, mengatakan bahwa fitrah adalah keadaan yang dihasilkan dari penciptaan.[[2]] Muthahhari mengomentari lebih lanjut bahwa fitrah merupakan bawaan alami, yaitu sesuatu yang melekat dalam diri manusia, bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha. Hanya saja, ungkapan fitrah digunakan biasanya khusus untuk manusia. [[3]]
Sifat Bentukan
Lingkungan dimana manusia itu beraktifitas sangat berpengaruh pada bentukan karakter manusia tersebut. Komponen yang berpengaruh pada bentukan sifat manusia adalah Pergaulan, kondisi alam, dan sikap orang tua . ketiga hal tersebut menjaadi barometer bagi pembentukan karakter manusia tersebut.
Bagaimana memandang Sifat Buruk manusia?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya kalimat “Dari sananya sudah begitu” adalah menisbahkan sifat buruk itu pada asal-muasal manusia atau subyek pemilik sifat tersebut. Pertanyaan yang akan muncul berikutnya adalah Lantas dari mana asal-muasalnya? Apakah asalah sifat buruk itu merupakan sifat bawaan lahir atau penciptaan (manusia)? atau sifat buruk itu berasal dibentuk dari lingkungannya?
terkait asal-muasal sifat manusia telah dijelaskan diatas bahwa manusia memiliki dua jenis sifat yaitu sifat bawaan lahir (asal penciptaan) dan sifat bentukan (kondisi lingkungan). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka untuk menjawab pertanyaan apakah sifat buruk itu merupakan bawaan lahir? Jawabannya adalah tidak. Karena sifat bawaan lahir cendrung baik atau suci. Sedangkan sifat-sifat buruk manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan dimana manusia tersebut berada.
Lantas bagaimana seharusnya menyikapi sikap buruk tersebut?
Diawal dikatakan bahwa ketika salah memahami asal muasal sifat manusia, maka akan berdampak pada cara pandang kita terhadap sifat-sifat tersebut. Pertama, ketika memahami sifat tersebut merupakan bawaan lahir, maka konsekuensi logisnya adalah menganggap bhwa sifat tersebut mutlak tidak bias dirubah. Kedua, ketika memaklumi sifat tersebut adalah bawaan orang tua, maka sifat tersebut sudah menjadi tabiat yang tidak dapat dirubah.
Setelah dikaji, ternyata sifat buruk merupakan bagian dari sifat bentukan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidup manusia tersebut berada. Jika, dipahami bahwa sifat buruk merupakan sifat bentukan yang dipengaruhi oleh lingkungan, maka konsekuensi logisnya adalah sifat buruk tersebut dapat dirubah. Artinya bahwa manusia (subyek) pemilik sifat tersebut berpotensi untuk dirubah sifatnya. sehingga kalimat “dari sananya sudah begitu” tidak perlu dilontarkan, karena secara sadar kita mengetahui bahwa sifat buruk tersebut masih berpotensi untuk dirubah atau sifat tersebut tidak mutlak pada subyek tersebut.
[1] Luwais Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-Adab wa al-’Ulum, (Beyrut: Matba’at Katholikiyah, t.t.), hal. 588.
[2] Murtadha Muthahhari, op. cit., hal. 8.
[3] Ibid., hal. 20.
0 komentar:
Posting Komentar