Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Mencari Jejak Di alam

Saya Berenang di Samudra Kehidupan dan belajar menerjang setiap deruh ombak. sembari meneguk Hikmah hidup.

Minggu, 22 Januari 2012

Jangan Lupa

Mencari Makan di pulau seberang
sanak family dikampung mengenang

mencari Ilmu di negeri orang
Ilmu sendiri harus dikenang

Berlayar Pulang dengan gelar
jangan lupa untuk tetap belajar


Ary Toteles

Kamis, 19 Januari 2012

Senin, 16 Januari 2012

Sopan, Sepatu, dan Baju Berkerak.

Cara Sopan ala indonesia paling timur
Saya akhir-akhir ini sangat terganggu dengan pemahaman teman-teman terkait dengan “kesopanan”.  Dibeberapa tempat, saya melihat standar “kesopanan dalam berpakaian” pun berbeda-beda. Misalnya, ketika diadakan pengajian, orang lebih cendrung berpakaian busana “Muslim”. Dalam hal ini, yang dibilang sopan, adalah penyesuaian antara cara berpakaian dengan konsep nilai pada acara (pengajian) tersebut. Ketika kita datang tanpa berbusana muslim, kita akan dibilang kurang etis atau tidak sopan karena tidak menghargai acara pengajian. Artinya segi pakaian juga kemudian diselaraskan dengan konsepsi nilai acara tersebut. Hal ini bisa saja berlaku pada acara-cara selain pengajian, seperti Rapat atau meeting. Jika menghadiri meeting atau rapat-rapat penting diperkantoran kita perlu mekai busana yang sesuai dengan konteks acaranya (rapat).  Dalam budaya anak muda pun kesopanan dalam berpakaian menjadi hal penting. Bahkan gaya berpakaian sebagai sebuah identitas yang menjadi keterwakilan sebuah pemahaman terkait aktifitasnya. .Disini saya juga melihat pemahaman kesopanan dalam berpakaian adalah kesesuaian antara “konsepsi nilai Acara dengan gaya berpakaian”. Sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat indonesia secara umum. Terutama budaya masyarakat kota.
Perilaku dalam berpakaian sudah menjadi satu poros budaya baru. Bisa dibilang sebagai simbol (semiotik) identitas budaya tertentu. Corak budaya berpakaian sebagai keterwakilan satu tatanan sudah ada sejak dulu kala. Hal ini bisa kita temui khususnya diindonesia. Dari pluralitas budaya, akan kita menemukan pembeda. Status pembeda yang bisa kita lihat pada gaya berpakaian. Namun budaya lokal sangat konsisten dengan nilai yang mereka anut. Saya ambil contoh adalah orang papua, untuk menghadiri acara-acara adat (resmi), tidak terlalu bannyak kita melihat perbedaan. “koteka” sebagai pakaian adat tidak mengalami pergeseran nilai. Artinya bahwa, antara pemahaman nilai dengan acara yang dijalankan, tidak ada perubahan. Artinya kesopanan yang dimaknai dalam konteks tradisional mencerminkan sikap junjung nilai budaya yang dianut. Bukan saja masyarakat adat papua, begitu pula suku-suku lainnya yang masih menjaga kemurnian nilai budaya dan etika budaya yang dianut. Seperti dayak, batak, maluku, jawa, dan lainya. Namun ketika kita masuk pada masyarakat perkotaan, kita sulit menemukan konsistensi nilai yang dianut. Pakaian disinyalir sebagai salah satu “neraca kesopanan”, belum mewakili cara pandang yang dianut. Masih sebatas gaya hidup tanpa nilai tertentu. Dimana, budaya modern “masyarakat perkotaan” sewaktu-waktu bisa berubah seiring perkembangan zaman. Sehingga cara pandang terhadap kesopanan pun menjadi satu kebenaran yang diperoleh melalui kesepakatan. Ketidak-konsisten antara pemahaman nilai (ontology) dengan penerapan nilai melalui media Berpakaian (life style).

Kampus Islamku

Saya melihat (ketidak-konsisten antara pemahaman nilai dengan penerapan nilai) terjadi dilingkungan kampusku. dalam hal berpakaian, dikampusku mewajibkan bagi kaum pria untuk  berpakaian rapi dan sopan . disini kesopanan berpakaian yang dimaksud adalah memakai Kemeja yang berkerak, dan memakai sepatu. sedangkan perempuan mekai busana muslim yaitu jilbab dan menutup aurat. Kebetulan kampusku adalah salah satu sekola tinggi islam.
Sewaktu mengikuti proses perkuliahan, aku tanpa sengaja memakai topi dalam ruang kelas. Kemudian melihat perilakuku, dosen menegur agar membuka topi. Katanya tidak sopan memakai topi disaat mengikuti perkuliahan. Dengan kata lain, menurut pemahaman dosen tersebut, tidak boleh mekakai topi, karena tidak termasuk dalam adab menuntut ilmu. Sehingga ketika kita memakai topi saat mengikuti perkuliahan, akan dinilai tidak sopan.  Situasi seperti ini bukan terjadi sekali, dikelas yang berbeda, saya mengikuti perkuliahan dengan memakai baju kemeja namun tidak ada kerah nya. Jadi dilihat sekilas seperti kaus oblong. Saat dosen melihat, lagi-lagi dilarang, karena tidak sesuai dengan aturan kampus. Selain itu, dilain waktu, aku memakai sepatu kets merek “ALL STAR”. Waktu ke kampus, aku menginjak bagian belakang sepatu (bagian tumit). Saat masuk ruang ujian, aku diomelin oleh pengawas ujian. Setelah pikir-pikir, tidak ada yang salah dengan cara berpakaian saya.
Oklah anggap saja saya melanggar ketetapan aturan. Kebijakan kampus menetapkan cara berpakaian tersebut, menurut saya tidak konsisten dengan “keislaman”. Karena saya belum melihat manifestasi keislaman dalam segi berpakaian. Kembali pada hipotesis saya bahwa “kesopanan dalam berpakaian adalah kesesuaian antara konsepsi nilai acara dengan gaya berpakaian”. Jika kita mengacu pada cara pandang secara umum, tidak ada yang keliru pada aturan main tersebut. Lantas, yang jadi pertanyaan kemudian, korelasi antara nilai “Keislaman” ( dalam adab berpakaian disaat menuntut ilmu atau belajar) dengan kebijakan tersebut dimana? Sebagaian besar menjawab dengan enteng bawa yang terpenting itu menutup aurat. Sampai disini aku masih terima, walaupun secara umum islam tidak menitik beratkan pada motif atau type pakaian tertentu seperti kemeja atau baju berkerak. Yang jadi pertanyaan kemudian,  lalu bagaimana dengan “adab menuntut ilmu dalam islam”? apakah sudah terwakili dengan ketetapan aturan tersebut? Dalam islam, belajarpun tidak memakai alas kaki, pakaian tidak memakai kerahpun tidak masalah. Apalagi memakai topi atau sejenis kopiah. Ternyata ukuran kesopanan hanya sebatas bentuk luaran yang sifatnya aksidental. Padahal konsep kesopanan lebih luas dari pada yang dipahami oleh orang-orang kampus. Dalam pembahasan ini saya tidak sedang membahas nilai-nilai islam, namun lebih menitik beratkan pada pemaknaan terhadap kesopanan dalam berpakaian. Kesopanan dalam berpakaian yang dimaknai sangat dangkal, hanya sebatas “sepatu dan kerak baju”. Tanpa kedua hal tersebut kita diponis tidak sopan.

Sepatu, Kerak, dan Sopan.

Menurut saya, kampus sedang mereduksi nilai kesopanan atau adab berpakaian. Mereka membatasi konsepsi kesopanan hanya pada “sepatu dan Kerak baju”. Ketika kita berpakaian dilingkungan kampus Tanpa kedua hal tersebut (sepatu dan baju berkerak), akan diponis tidak sopan. Aku agak heran, dari kecil sampai hari ini, yang kupahami bahwa pakaian merupakan refresentasi dari cara pandang yang dianut. Seperti contoh sebelumnya yaitu “koteka masyarakat papua” dan dalam acara apapun mereka tidak membatasi.  Ternyata dikampusku (lebel islam)dalam aturan berpakaian, masih jauh dari nilai yang kita junjung. Dalam pemahaman yang dianut, mereka menjunjung nilai keislaman, namun pemahaman ini tidak mampu diturunkan kedalam semua aturan pendidikan. Dalam proses perkuliahan pun yang ada hanyalah “berdo’a” yang mencerminkan sikap keislaman. Selain itu, tidak ada satupun yang mewakili adab belajar yang sesuai dengan nilai keilslaman. Untuk menghadiri pengajian (proses belajar) atau ceramah, atau bahkan majelis dzikir, kita tidak dituntut untuk memakai kerak dan sepatu. Dari sini, saya melihat keterputusan antara pemahaman dan penerapan.

melihat perkembangan zaman, akhirnya manusia cendrung berimaginasi menyusuri masa lampau. modelnya pun beragam dan unik. salah satunya contoh sepatu dibawah ini, 
Sepatu Modern
model sepatu berbentuk kaki manusia akan terlihat seperti kaki telanjang. nah terkait dengan "eksistensi sepatu" , apakah kemudian dengan model seperti gambar diatas masih terlihat sopan?.
begitupun kemeja yang mempunyai motif yang tidak mempunyai kerah baju. akan kah konsep kesopanan itu berubah menurut perubahan model dan motif desain pakaian (baju, sepatu dll)??


dari mana aturan baju berkerah? dan sepatu?


saya akan mengajak pembaca menusuri jejak aturan tersebut. seperti pernyataan saya diatas bahwa Pakaian mewakili idenittas suatu tatanan budaya. kita lihat budaya mana yang hendak diwakili oleh kampusku.
1. Identitas Sebagai Kampus Islam
salah satu budaya bsana muslim, adalah baju yang sangat bercorak arab saudi. itupun saya jamin kita tidak akan menemukan baju berkerah seperti yang kita temukan pada umumnya. seperti jubah dan lainnya tanpa kerah baju lipat. kalau diindonesia lebih dinamis. seperti gambar dibawah ini :

cara berpakaian muslim sopan


2. identitas sebagai Bangsa Indonesia
seperti kita ketahui, sebagian besar baju adat indonesia tidak mempunyai kerah lipat. namu nakmpusku menetapkan bahwa berpakaian harus menggunakan kerah berlipat, padahal pakaian merupakan keterwakilan budaya. jadi pakaian berkerah tidak sedikitpun mewakili budaya bangsa indonesia. its Ok, telah terjadi akulturasi budaya, namun bukan berarti penetapan konsep nilai pun mereduksi nilai kesopanan yang dianut oleh masyarakat pribumi (baik secara keyakinan maupun adat istiadat). kalau pembaca hendak kroscek atau bandingkan, berapa banyak baju adat berkerah lipat, Baju-baju adat di indonesia pun sebagian besar tidak berkerah lipat.
SAYA TIDAK MEMBAYANGKAN, JIKA DEMI MENJUNJUNG TINGGI KESOPANAN, BAGAIMANA KALAU SETIAP MAHASISWA MEMAKAI BAJU ADAT  DAERAH MASING-MASING???


tulisan ini bukan menitik beratkan pada konteks keislaman, hanya kebetulan kasusnya adalah kampus islam, sehingga pembahasan lebih banyak pada "konteks kampus" dan konsistensi "konsep nilai" dan "penerapan Nilai" dalam hal ini yaitu Kesopanan dalam berpakaian.


Ary Toteles, 

Saya akhir-akhir ini sangat terganggu dengan pemahaman teman-teman terkait dengan “kesopanan”.  Dibeberapa tempat, saya melihat standar “kesopanan dalam berpakaian” pun berbeda-beda. Misalnya, ketika diadakan pengajian, orang lebih cendrung berpakaian busana “Muslim”. Dalam hal ini, yang dibilang sopan, adalah penyesuaian antara cara berpakaian dengan konsep nilai pada acara (pengajian) tersebut. Ketika kita datang tanpa berbusana muslim, kita akan dibilang kurang etis atau tidak sopan karena tidak menghargai acara pengajian. Artinya segi pakaian juga kemudian diselaraskan dengan konsepsi nilai acara tersebut. Hal ini bisa saja berlaku pada acara-cara selain pengajian, seperti Rapat atau meeting. Jika menghadiri meeting atau rapat-rapat penting diperkantoran kita perlu mekai busana yang sesuai dengan konteks acaranya (rapat).  Dalam budaya anak muda pun kesopanan dalam berpakaian menjadi hal penting. Bahkan gaya berpakaian sebagai sebuah identitas yang menjadi keterwakilan sebuah pemahaman terkait aktifitasnya. .Disini saya juga melihat pemahaman kesopanan dalam berpakaian adalah kesesuaian antara “konsepsi nilai Acara dengan gaya berpakaian”. Sepertinya sudah menjadi budaya masyarakat indonesia secara umum. Terutama budaya masyarakat kota.
Perilaku dalam berpakaian sudah menjadi satu poros budaya baru. Bisa dibilang sebagai simbol (semiotik) identitas budaya tertentu. Corak budaya berpakaian sebagai keterwakilan satu tatanan sudah ada sejak dulu kala. Hal ini bisa kita temui khususnya diindonesia. Dari pluralitas budaya, akan kita menemukan pembeda. Status pembeda yang bisa kita lihat pada gaya berpakaian. Namun budaya lokal sangat konsisten dengan nilai yang mereka anut. Saya ambil contoh adalah orang papua, untuk menghadiri acara-acara adat (resmi), tidak terlalu bannyak kita melihat perbedaan. “koteka” sebagai pakaian adat tidak mengalami pergeseran nilai. Artinya bahwa, antara pemahaman nilai dengan acara yang dijalankan, tidak ada perubahan. Artinya kesopanan yang dimaknai dalam konteks tradisional mencerminkan sikap junjung nilai budaya yang dianut. Bukan saja masyarakat adat papua, begitu pula suku-suku lainnya yang masih menjaga kemurnian nilai budaya dan etika budaya yang dianut. Seperti dayak, batak, maluku, jawa, dan lainya. Namun ketika kita masuk pada masyarakat perkotaan, kita sulit menemukan konsistensi nilai yang dianut. Pakaian disinyalir sebagai salah satu “neraca kesopanan”, belum mewakili cara pandang yang dianut. Masih sebatas gaya hidup tanpa nilai tertentu. Dimana, budaya modern “masyarakat perkotaan” sewaktu-waktu bisa berubah seiring perkembangan zaman. Sehingga cara pandang terhadap kesopanan pun menjadi satu kebenaran yang diperoleh melalui kesepakatan. Ketidak-konsisten antara pemahaman nilai (ontology) dengan penerapan nilai melalui media Berpakaian (life style).

Kampus Islamku

Saya melihat (ketidak-konsisten antara pemahaman nilai dengan penerapan nilai) terjadi dilingkungan kampusku. dalam hal berpakaian, dikampusku mewajibkan bagi kaum pria untuk  berpakaian rapi dan sopan . disini kesopanan berpakaian yang dimaksud adalah memakai Kemeja yang berkerak, dan memakai sepatu. sedangkan perempuan mekai busana muslim yaitu jilbab dan menutup aurat. Kebetulan kampusku adalah salah satu sekola tinggi islam.
Sewaktu mengikuti proses perkuliahan, aku tanpa sengaja memakai topi dalam ruang kelas. Kemudian melihat perilakuku, dosen menegur agar membuka topi. Katanya tidak sopan memakai topi disaat mengikuti perkuliahan. Dengan kata lain, menurut pemahaman dosen tersebut, tidak boleh mekakai topi, karena tidak termasuk dalam adab menuntut ilmu. Sehingga ketika kita memakai topi saat mengikuti perkuliahan, akan dinilai tidak sopan.  Situasi seperti ini bukan terjadi sekali, dikelas yang berbeda, saya mengikuti perkuliahan dengan memakai baju kemeja namun tidak ada kerah nya. Jadi dilihat sekilas seperti kaus oblong. Saat dosen melihat, lagi-lagi dilarang, karena tidak sesuai dengan aturan kampus. Selain itu, dilain waktu, aku memakai sepatu kets merek “ALL STAR”. Waktu ke kampus, aku menginjak bagian belakang sepatu (bagian tumit). Saat masuk ruang ujian, aku diomelin oleh pengawas ujian. Setelah pikir-pikir, tidak ada yang salah dengan cara berpakaian saya.
Oklah anggap saja saya melanggar ketetapan aturan. Kebijakan kampus menetapkan cara berpakaian tersebut, menurut saya tidak konsisten dengan “keislaman”. Karena saya belum melihat manifestasi keislaman dalam segi berpakaian. Kembali pada hipotesis saya bahwa “kesopanan dalam berpakaian adalah kesesuaian antara konsepsi nilai acara dengan gaya berpakaian”. Jika kita mengacu pada cara pandang secara umum, tidak ada yang keliru pada aturan main tersebut. Lantas, yang jadi pertanyaan kemudian, korelasi antara nilai “Keislaman” ( dalam adab berpakaian disaat menuntut ilmu atau belajar) dengan kebijakan tersebut dimana? Sebagaian besar menjawab dengan enteng bawa yang terpenting itu menutup aurat. Sampai disini aku masih terima, walaupun secara umum islam tidak menitik beratkan pada motif atau type pakaian tertentu seperti kemeja atau baju berkerak. Yang jadi pertanyaan kemudian,  lalu bagaimana dengan “adab menuntut ilmu dalam islam”? apakah sudah terwakili dengan ketetapan aturan tersebut? Dalam islam, belajarpun tidak memakai alas kaki, pakaian tidak memakai kerahpun tidak masalah. Apalagi memakai topi atau sejenis kopiah. Ternyata ukuran kesopanan hanya sebatas bentuk luaran yang sifatnya aksidental. Padahal konsep kesopanan lebih luas dari pada yang dipahami oleh orang-orang kampus. Dalam pembahasan ini saya tidak sedang membahas nilai-nilai islam, namun lebih menitik beratkan pada pemaknaan terhadap kesopanan dalam berpakaian. Kesopanan dalam berpakaian yang dimaknai sangat dangkal, hanya sebatas “sepatu dan kerak baju”. Tanpa kedua hal tersebut kita diponis tidak sopan.

Sepatu, Kerak, dan Sopan.

Menurut saya, kampus sedang mereduksi nilai kesopanan atau adab berpakaian. Mereka membatasi konsepsi kesopanan hanya pada “sepatu dan Kerak baju”. Ketika kita berpakaian dilingkungan kampus Tanpa kedua hal tersebut (sepatu dan baju berkerak), akan diponis tidak sopan. Aku agak heran, dari kecil sampai hari ini, yang kupahami bahwa pakaian merupakan refresentasi dari cara pandang yang dianut. Seperti contoh sebelumnya yaitu “koteka masyarakat papua” dan dalam acara apapun mereka tidak membatasi.  Ternyata dikampusku (lebel islam)dalam aturan berpakaian, masih jauh dari nilai yang kita junjung. Dalam pemahaman yang dianut, mereka menjunjung nilai keislaman, namun pemahaman ini tidak mampu diturunkan kedalam semua aturan pendidikan. Dalam proses perkuliahan pun yang ada hanyalah “berdo’a” yang mencerminkan sikap keislaman. Selain itu, tidak ada satupun yang mewakili adab belajar yang sesuai dengan nilai keilslaman. Untuk menghadiri pengajian (proses belajar) atau ceramah, atau bahkan majelis dzikir, kita tidak dituntut untuk memakai kerak dan sepatu. Dari sini, saya melihat keterputusan antara pemahaman dan penerapan.

Satu Proses berbeda Nilai

Pesantrenisasi (Proses Belajar)



Ary Toteles

Minggu, 15 Januari 2012

Complete lyrics: http://www.directlyrics.com/tinie-tempah-written-in-the-stars-lyrics.htmlComplete lyrics: http://www.directlyrics.com/tinie-tempah-written-in-the-stars-lyrics.html

MELIHAT PARA PERINDU


Melihat para perindu membacakan diri
tak segan mengeluh pada situasi
entah jarak atau waktu yang menjadi penyepi
setiap perindu pasti akan masuk pada ruang sepi..

oh para perindu, bersahabatlah dengan waktu
setiap perindu punya harapan dan impian..
tapi tidak semua kesempatan jadi sahabat perindu

Sabtu, 14 Januari 2012

Saya Curiga Kampus Salah diagnosa Teman-teman




Fenomena kecil yang ku temui di dunia perkuliahan sangat menggelitik.  Sebagian besar mahasiswa awal masuk kampus mempunyai harapan adalah untuk menjadi profesional dibidangnya masing-masing. Melalui proses pengujian yang dianggap layak sehingga dapat mengikuti perkuliahan dan diterima sebagai mahasiswa di kampus tertentu. Ada banyak motif filter atau seleksi  calon mahasiswa. Yang paling terkenal sekarang adalah test komputerisasi. Mengikuti test tatap muka dengan sistem komputer ,kemudian setelah mengisi beberapa pertanyaan yang diajukan  dan pengumuman hasil test bisa langsung di ketahui atau dilihat langsung.
Terkait dengan metode penilaian automatic oleh komputer denngan kriteria baku yang sudah ditetapkan sudah dianggap cukup ampuh untuk membaca potensi mahasiswa untuk mengikuti disiplin ilmu tertentu.
Setelah proses penyeleksian selesai, mahasiswa syah secara teoritis mampu menempuh perkuliahan tersebut. Kemudian dalam beberapa kurikulum ada sistem filter tahap berikutnya seperti sistem drop out setelah menempuh 4 semester perkulaiahan. Dan berikutnya pada 7 tahun masa perkuliahan jika tidak mampu menempuh Standar IPK tertentu, dinyatakan gagal.
Itu sekilas tentang hirarki penggodokan potensi mahasiswa dikampus. Saya pribadi juga mengalami hal tersebut dan mungkin para pembaca pernah mengalami hal serupa diatas. Menurut pengalaman pribadi saya, sebagian besar mahasiswa mengalami kecelakaan akibat sistem tersebut. Dari beberapa teman yang sejurusan dengan saya, ketika ditanya “Kenapa Masuk Teknik Sipil?” jawabannya “pengen menjadi pegawai Negeri Sipil”. Ada juga jawaban lain yaitu “kemaren pengennya masuk arsitek, namun saya diterima di teknik Sipil”. Ini salah satu contoh yang kubilang sebagai sebuah kecelakaan sistem yang perlu dievaluasi. Selain itu, setelah berproses didalam dunia kampus, mahasiswa banyak terjun ke ruang-ruang organisasi kampus seperti UKM dan study Club. Pada tahapan ini, mahasiswa mengasa potensi yang terpendam dan itu diluar akademik. Seperti Pecinta Alam, Pers, Sepak Bola, dll.
Lantas pasti ada yang bertanya, salahnya dimana?
Pada pertanyaan diatas, saya mempunyai dua jawaban. Yang pertama, Kita bisa melihat dari segi kenyamanan dan motivasi. Kemudian berikutnya hasil akhir setelah Berproses. Kedua jawaban ini mempunyai hubungan erat untuk menjawab atau menjadi evaluasi sebuah sistem pendidikan.
Terkait dengan contoh kasus diatas, Hobi mahasiswa tersebut adalah Menggambar bangunan, ternyata penilaian sistem bahwa mahasiswa tersebut lebih layak diterima pada Jurusan Teknik sipil. Menurutku ini sebuah ironi dalam penilaian komputerisasi. Motivasi seorang mahasiswa menjadi faktor penentu dalam menjalani proses pendidikan. Selain itu, hobi juga menjadi salah satu faktor pendukung kesuksesan mahasiswa dalam menjalani proses pembelajaran. Ketika mahasiswa merasa tidak nyaman dan tidak mempunyai motivasi untuk mengenyam pendidikan tersebut, maka jangan berharap hasil memuaskan dari mahasiswa tersebut. Artinya bahwa dengan hasil yang minim, kemudian akan berpengaruh pada nasib mahasiswa tersebut setelah lulus nanti.
Situasi kampus hari ini, dengan mengejar standar pendidikan atau kategori tertentu, memaksa mahasiswa untuk belajar lebih keras. Mendesain sistem sedemikian rupa agar mahasiswa mampu mencapai kualitas yang diharapkan. Sebagian besar kampus diyogyakarta sudah menerapkan suatu standar khusus sebagai nilai lebih dari kampus tertentu. Penerapan sistem demi sistem memang membuahkan hasil yang signifikan, namun dalam situasi seperti ini, perlu mempertimbangkan keseriusan mahasiswa. Standar drop out tidak lebih dari sugesti untuk mempercepat proses perkuliahan. Mahasiswa dianggap punya kemampuan yang merata, namun mereka lupa bahwa Hobi dan kenyamanan juga akan mempengaruhi kualitas mahasiswa tersebut. Ini bukan sebuah kepastian, bisa dibilang sebagai hipotesis sementara berdasarkan pengamatan pribadi. Sebagian besar kawan yang mengalami kecelakaan tersebut, masih bertahan dikampus, karena belum menyelesaikan persyaratan kelulusan. Ini merupakan satu effek dari sistem komputer yang tidak mampu mendeteksi “potensi dan motivasi” mahasiswa, sehingga kuliah tersendak. Selain berpengaruh pada proses perkuliahan, juga berpengaruh pada orientasi pasca kelulusan atau produktivitas mahasiswa nantinya. Tidak jarang kita menemukan para sarjana bekerja diluar bidang akademiknya atau bahkan nganggur. Aku melihat bahwa dari segi potensi maupun motivasi, mahasiswa yang mengalami kecelakaan akibat penilaian sistem komputerisasi membunuh kreativitas dan potensi mereka.
Terlepas dari semua interpretasi diatas, yang jelas teman-teman saya belum lulus sampai hari ini. Karena lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendalami ilmu yang mereka sukai, sebagian yang memang kurang mampu dalam penyerapan.  Dengan pembatasan masa studi perkuliahan, maka menjadi bagi mahasiswa yang kurang mampu (kempampuan otak).


Saya Curiga Kampus Salah diagnosa Teman-teman
Ary Toteles